Senin, 20 Maret 2017

Analisis Permenristekdikti Nomer 32 Tahun 2016 tentang Akreditasi Prodi dan AIPT

Nama : Iwan Sopwandin
NIM    : 1142010039
Tugas : Manajemen Perguruan Tinggi


1.      Analisis Permenristekdikti Nomer 32 Tahun 2016 tentang Akreditasi Prodi dan AIPT
Dijelaskan bahwa akreditasi program studi adalah kegiatan penilaian untuk menentukan kelayakan program studi, sedangkan akreditasi perguruan tinggi adalah kegiatan penilaian untuk menentukan kelayakan perguruan tinggi. Adapun yang dimaksud dengan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) adalah badan yang dibentuk oleh pemerintah untuk melakukan dan mengembangkan  akreditasi perguruan tinggi secara mandiri.
Standar Nasional Pendidikan Tinggi adalah satuan standar yang meliputi standar nasional pendidikan, ditambah dengan standar penelitian, dan standar pengabdian kepada masyarakat.
Program Studi adalah kesatuan kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang memiliki kurikulum dan metode pembelajaran tertentu dalam satu jenis pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan/atau pendidikan vokasi. Masa berlaku status akreditasi dan peringkat terakreditasi Program Studi dan/atau Perguruan Tinggi adalah 5 (lima) tahun.
Dalam masa berlaku status akreditasi dan peringkat terakreditasi Program Studi dan/atau Perguruan Tinggi, BAN-PT atau LAM melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pemenuhan syarat status akreditasi dan peringkat terakreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi yang telah ditetapkan.  Status akreditasi dan peringkat terakreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi diumumkan kepada masyarakat.
Instrumen akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi disusun berdasarkan interaksi antarstandar di dalam Standar Pendidikan Tinggi. Instrumen akreditasi Program Studi sebagaimana dimaksud disusun berdasarkan :
a.       jenis pendidikan, yaitu vokasi, akademik, profesi;
b.      program pendidikan, yaitu program diploma, sarjana, sarjana terapan, magister, magister terapan, profesi, spesialis, doktor, dan doktor terapan;
c.       modus pembelajaran, yaitu tatap muka dan jarak jauh; dan
d.      hal-hal khusus.

Tugas dan wewenang BAN-PT :
a.       Mengembangkan sistem akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi selaras dengan kebijakan pengembangan pendidikan tinggi;
b.      Menyusun dan menetapkan instrumen akreditasi Perguruan Tinggi berdasarkan Standar Pendidikan Tinggi;
c.       Melakukan akreditasi Perguruan Tinggi;
d.      Menerbitkan, mengubah, atau mencabut keputusan tentang status akreditasi dan peringkat terakreditasi Perguruan Tinggi;
e.       Memeriksa, melakukan uji kebenaran, dan memutuskan keberatan yang diajukan atas status akreditasi dan/atau peringkat terakreditasi Perguruan Tinggi;
f.       Membangun dan mengembangkan jejaring dengan pemangku kepentingan baik di tingkat nasional maupun internasional;
g.      Melakukan penilaian kelayakan pendirian LAM sebagai dasar rekomendasi pengakuan Menteri kepada LAM;
h.      Mengevaluasi kinerja LAM secara berkala yang hasilnya disampaikan kepada Menteri;
i.        Menyusun instrumen evaluasi pendirian Perguruan Tinggi berdasarkan Standar Nasional Pendidikan Tinggi bersama dengan Direktur Jenderal Kelembagaan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi;
j.        Memberikan rekomendasi pemenuhan persyaratan minimum akreditasi untuk pendirian Perguruan Tinggi kepada Direktorat Jenderal Kelembagaan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; dan
k.      Menyampaikan laporan hasil akreditasi dilengkapi dengan rekomendasi secara berkala kepada Menteri.

Tugas dan wewenang Majelis Akreditasi :
a.       Menetapkan kebijakan dan pengembangan sistem akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi secara nasional;
b.      Menetapkan kebijakan pelaksanaan akreditasi Perguruan Tinggi dengan mempertimbangkan usul Dewan Eksekutif;
c.       Mengesahkan Rencana Strategis, Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan BAN-PT yang diusulkan oleh Dewan Eksekutif dan menyampaikan kepada Menteri;
d.      Menetapkan instrumen akreditasi Perguruan Tinggi;
e.       Menetapkan instrumen akreditasi Program Studi atas usul LAM;
f.       Memberikan rekomendasi atas usul pendirian LAM dari Pemerintah atau masyarakat kepada Menteri;
g.      Memantau, mengevaluasi dan mengawasi kinerja LAM;
h.      Menindaklanjuti dan memutuskan keberatan atas status akreditasi dan/atau peringkat terakreditasi Perguruan Tinggi;
i.        Memberikan rekomendasi kepada Menteri tentang pencabutan pengakuan LAM berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada huruf g;
j.        Memantau, mengevaluasi, dan mengawasi kinerja Dewan Eksekutif;
k.      Melakukan evaluasi dan memberi persetujuan terhadap laporan Dewan Eksekutif;
l.        Melakukan koordinasi dengan unit kerja terkait di lingkungan Kementerian;
m.    Membangun dan mengembangkan jejaring dengan pemangku kepentingan baik di tingkat nasional maupun internasional; dan
n.      Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Menteri setiap semester dan setiap tahun.

Tugas dan wewenang Dewan Eksekutif :
a.       Melaksanakan kebijakan sistem akreditasi Perguruan Tinggi secara nasional yang telah ditetapkan oleh Majelis Akreditasi;
b.      Menyusun Rencana Strategis, Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan BAN-PT untuk diusulkan kepada Majelis Akreditasi;
c.       Melaksanakan Rencana Strategis, Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan BAN-PT yang telah ditetapkan Menteri; 
d.      Menyiapkan kebijakan pelaksanaan akreditasi Perguruan Tinggi untuk diusulkan kepada Majelis Akreditasi;
e.       Menjalankan kebijakan pelaksanaan akreditasi Perguruan Tinggi, termasuk penilaian kembali hasil akreditasi Perguruan Tinggi;
f.       Menerima dan menyampaikan usul instrumen akreditasi Program Studi dari LAM kepada Majelis Akreditasi;
g.      Menyampaikan rekomendasi pendirian dan pencabutan pengakuan LAM kepada Menteri;
h.      Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pemenuhan syarat status akreditasi dan peringkat terakreditasi Perguruan Tinggi yang telah ditetapkan;
i.        Menyusun dan menyampaikan laporan secara berkala kepada Majelis Akreditasi;
j.        Menyiapkan dan melaksanakan kegiatan aliansi strategis BAN-PT setelah mendapat persetujuan Majelis Akreditasi;
k.      Menyelenggarakan kegiatan akreditasi sesuai dengan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi;
l.        Mengusulkan pengembangan sistem informasi, penelitian dan pengembangan sistem akreditasi kepada Majelis Akreditasi;
m.    Mengelola asesor BAN-PT, mulai dari rekrutmen, pelatihan dan pengembangan serta pemberhentian asesor setelah mendapat pertimbangan dari Majelis Akreditasi;
n.      Mengangkat tim ahli dan panitia ad hoc sesuai kebutuhan; dan
o.      Menjalankan tugas teknis dan administratif.

Izin pembukaan Program Studi dan/atau izin pendirian Perguruan Tinggi yang sudah diterbitkan sebelum tanggal 10 Agustus 2012 dinyatakan tetap berlaku.  Program Studi dan/atau Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum terakreditasi, dinyatakan terakreditasi dan tunduk pada Peraturan Menteri ini. Program Studi dan/atau Perguruan Tinggi yang dinyatakan terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus melakukan akreditasi ulang paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Menteri ini diberlakukan. Status akreditasi dan peringkat terakreditasi Program Studi dan/atau Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah diterbitkan oleh BAN-PT masih tetap berlaku sampai status akreditasi dan peringkat terakreditasi yang ditetapkan oleh BAN-PT berakhir. Status akreditasi dan peringkat terakreditasi Program Studi dan/atau Perguruan Tinggi sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri tentang izin pembukaan Program Studi dan/atau izin pendirian Perguruan Tinggi yang diterbitkan antara 10 Agustus 2012 sampai dengan diterbitkan Peraturan Menteri ini, dinyatakan tetap berlaku selama 5 (lima) tahun terhitung sejak Keputusan Menteri tersebut ditetapkan.
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, anggota BAN-PT sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 174/P/2012 tentang Anggota Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal Periode Tahun 2012-2017 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 193/P/2012 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 174/P/2012 tentang anggota Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal Periode Tahun 2012-2017 sepanjang mengenai keanggotaan BAN-PT tetap menjalankan tugasnya sampai ditetapkan anggota BAN-PT sesuai dengan Peraturan Menteri ini.

2.      Analisis UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
A.    Pandangan Filosofis dan Historis
 “….Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan Bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,….”
Maka telah ‘gamblang’ dijelaskan dalam pembukaan (preambule) UUD 1945 bahwa mencerdaskan kehidupan Bangsa merupakan kewajiban konstituonal yang harus dijalankan oleh Negara. Hal ini merupakan perwujudan cita-cita Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Mengingat pada zaman penjajahan, Bangsa Indonesia berada dalam posisi tidak terdidik dan pendidikan hanya diperoleh bagi kaum tertentu. Bahwa pendidikan kemudian juga menjadi hak bagi setiap warga Negara telah ditegaskan dalam batang tubuh UUD 1945 pada pasal 31 ayat (1). Dalam norma hukum Internasional, hak warga Negara memperoleh pendidikan juga termaktub dalam Universal Declaration on Human Rights pasal 26 bahwa pendidikan yang bertujuan untuk untuk mengembangkan kemanusiaan, wajib diterapkan untuk dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
Namun untuk mewujudkan kehidupan Bangsa yang cerdas, berbagai prahara terus menerpa Indonesia. Salah satu akar permasalahannya adalah ketika Indonesia yang diwakili oleh pemerintah sepakat untuk masuk ke dalam bagian World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994. Sebagai bentuk konsekuensinya, Indonesia harus ‘tunduk’ kepada aturan-aturan pokok yang ditetapkan dalam perjanjian General Agreement on Trade in Service (GATS). Pada perjanjian tersebut terdapat 12 sektor jasa yang dimasukkan dalam komoditas perdagangan jasa internasional, termasuk pendidikan. Inilah awal dibukanya ‘keran’ komersialisasi dan liberalisasi pendidikan Nasional dalam wujud penetrasi asing.

Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa Negara berkembang yang mudah dijadikan Negara komprador, Negara subordinat, atau Negara pelayan kepentingan kapitalisme internasional adalah Negara yang para pemimpinnya masih menderita penjajahan mental. Bermental inlander. Maka boleh jadi Indonesia memang dipimpin oleh pemimpin bermental inlander dengan disahkannya UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang substansinya merupakan UU titipan produk liberal dan telah ‘dimandulkan’ oleh Mahkamah Konstitusi. Namun pada tanggal 10 Agustus 2012 telah disahkan sebuah produk hukum yang diindikasikan reinkarnasi dari UU BHP, yakni UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

B.     Tinjauan Substansi
Dalam substansi UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi perlu kita cermati beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan.
Pasal 50
(1) Kerja sama internasional Pendidikan Tinggi merupakan proses interaksi dalam pengintegrasian dimensi internasional ke dalam kegiatan akademik untuk berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan nilai-nilai keindonesiaan.
(2) Kerja sama internasional harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan saling menghormati dengan mempromosikan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan nilai kemanusiaan yang memberi manfaat bagi kehidupan manusia.
(3) Kerja sama internasional mencakup bidang Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat.
(4) Kerja sama internasional dalam pengembangan Pendidikan Tinggi dapat dilakukan, antara lain, melalui:
a.       hubungan antara lembaga Pendidikan Tinggi di Indonesia dan lembaga Pendidikan Tinggi negara lain dalam kegiatan penyelenggaraan Pendidikan yang bermutu;
b.      pengembangan pusat kajian Indonesia dan budaya lokal pada Perguruan Tinggi di dalam dan di luar negeri; dan
c.       pembentukan komunitas ilmiah yang mandiri.
(5) Kebijakan nasional mengenai kerja sama internasional Pendidikan Tinggi ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
Substansi dari pasal 50 merupakan etikad baik dari pemerintah untuk memperkenalkan arus globalisasi terhadap pendidikan. Namun kita wajib mendefinisikan apa itu globalisasi secara utuh dan komprehensif sebelum pendidikan nasional benar-benar siap mengarah kesana. Terdapat frase “…..pengintegrasian dimensi internasional ke dalam kegiatan akademik untuk berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan nilai-nilai keindonesiaan.” Menurut Jan Aart Scholtc, secara garis besar ada 5 definisi luas tentang globalisasi seperti ditemukan dalam literatur yang salah satunya : Globalisasi sebagai westernisasi atau modernisasi, yakni merebaknya ke seluruh dunia struktur modernitas barat yang menyangkut kapitalisme, rasionalisme, industrialism, birokratisme, dan lain sebagainya yang cenderung merusak budaya lokal yang sudah ada lebih dulu.
Soekarno pernah menyatakan bahwa arti kebangsaan Indonesia bukan kebangsaan yang chauvinistic, yang sempit dan menyendiri, tetapi kebangsaan yang menjadi bagian dari dunia. Akan tetapi perlu kita refleksi sejenak sebelum menuju globalisasi, yakni penguatan rasa nasionalisme. Apakah pendidikan kita sudah menanamkan rasa nasionalisme dalam arti cinta kepada Indonesia yang sebenar-benarnya? Apakah pemerintah berani menjamin bahwa nilai-nilai keindonesiaan pada pendidikan tidak akan luntur ketika dihantam arus globalisasi. Saya kira tidak!
Pasal 62
(1)     Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma.
(2)     Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi.
(3)     Dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi untuk melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dievaluasi secara mandiri oleh Perguruan Tinggi.
(4)     Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi untuk melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 63
Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip:
a.       akuntabilitas;
b.      transparansi;
c.       nirlaba;
d.      penjaminan mutu; dan
e.       efektivitas dan efisiensi.
Pasal 64
(1)     Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 meliputi bidang akademik dan bidang nonakademik.
(2)     Otonomi pengelolaan di bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma.
(3)     Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan:
a.       organisasi;
b.      keuangan;
c.       kemahasiswaan;
d.      ketenagaan; dan
e.       sarana prasarana.
            Penyajian otonomi dalam pengelolaan Perguruan Tinggi jelas adanya merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab Negara. Logika korporat asing muncul dalam pasal ini. Logika swastanisasi yang termasuk dalam konsep liberalisasi. World Bank beranggapan bahwa ”But at the core of higher education systems are actors that do not operate directly under the responsibility of higher education departments : private higher education institutions.”
Dalam pasal 63c dan pasal 64 ayat (3) b terdapat ketidakkonsistensian regulasi. Prinsip nirlaba yang tidak mengutamakan pencarian keuntungan, disisi lain memberikan kesempatan Perguruan Tinggi dalam mengelola keuangannya secara otonom.
MK dalam amar putusan pembatalan UU BHP mempertanyakan apakah betul bahwa ada hubungan kausal fungsional antara otonomi pengelolaan pendidikan formal dengan  mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila, artinya apakah untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut secara mutlak harus diperlukan otonomi pengelolaan pendidikan formal, atau dengan kata lain otonomi pengelolaan pendidikan formal merupakan conditio sine qua nonbagi pencapaian tujuan pendidikan. Hal yang dapat dipertanyakan juga apakah otonomi pengelolaan pendidikan formal merupakan sebuah keharusan yang diamanatkan oleh UUD 1945, ataukah diperlukannya otonomi tersebut berdasarkan atas kajian empirik yang membuktikan bahwa tanpa otonomi tujuan pendidikan nasional tidak dapat secara maksimal dicapai, ataukah dalil tersebut hanya merupakan spekulasi, yang hanya didasari atas intuisi, yang pada praktiknya dapat hanya bersifat trial and error belaka.
Pasal 65
(1)     Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.
(2)     PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tata kelola dan kewenangan pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)     PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki:
a.       kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah;
b.      tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri;
c.       unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi;
d.      hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel;
e.       wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri Dosen dan tenaga kependidikan;
f.       wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi; dan
g.      wewenang untuk membuka, menyelenggarakan, dan menutup Program Studi.
(4)     Pemerintah memberikan penugasan kepada PTN badan hukum untuk menyelenggarakan fungsi Pendidikan Tinggi yang terjangkau oleh Masyarakat.
(5)     Ketentuan mengenai penyelenggaraan otonomi PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam pasal ini dijelaskan bahwa Perguruan Tinggi terbagi menjadi dua pola pengelolaan keuangan, yakni Badan Layanan Umum (BLU) dan Badan Hukum. Namun dalam hal ini tidak ada kejelasan secara detail mengenai apa yang menjadi pertimbangan PTN berbentuk BLU atau Badan Hukum. Selain itu, dalam pasal ini juga secara jelas adanya keberpihakan terhadap PTN yang berbentuk Badan Hukum dengan diperolehnya akses-akses tertentu.
Dalam amar putusan putusan nomor 11-14-21-126-136/PUU tentang pembatalan UU BHP Mahkamah berpendapat, istilah “badan hukum pendidikan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas bukanlah nama dan bentuk badan hukum tertentu, melainkan sebutan dari fungsi penyelenggara pendidikan yang berarti bahwa suatu lembaga pendidikan harus dikelola oleh suatu badan hukum. Adapun bentuk badan hukum itu dapat bermacam-macam sesuai dengan bentuk-bentuk yang dikenal dalam peraturan perundang-undangan, misalnya yayasan, perkumpulan, perserikatan, badan wakaf, dan sebagainya. Oleh sebab itu, Penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas menjadi tidak diperlukan karena Penjelasan Pasal  a quo mempersempit arti badan hukum pendidikan dan bertentangan dengan maksud pasal a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil para Pemohon beralasan menurut hukum sepanjang pengertian badan hukum pendidikan dalam Pasal 53 ayat (1) a quotidak diartikan sebagai nama dan bentuk badan hukum tertentu, melainkan sebutan dari fungsi penyelenggara pendidikan yang berarti bahwa suatu lembaga pendidikan harus dikelola oleh suatu badan hukum. Artinya, Badan Hukum seharusnya menjalankan fungsi pengelolaan pendidikan kepada masyarakat, bukan merupakan format-format kelembagaan yang mendapat akses-akses tertentu.
Pasal 73
(1)     Penerimaan Mahasiswa baru PTN untuk setiap Program Studi dapat dilakukan melalui pola penerimaan Mahasiswa secara nasional dan bentuk lain.
Terdapat frase bentuk lain yang dapat dintepretasikan bahwa PTN diperbolehkan melakukan jalur-jalur masuk di luar jalur penerimaan mahasiswa secara nasional. Hal ini memberikan peluang bagi PTN untuk membebani masyarakat dengan pembiayaan-pembiayaan lain melalui jalur bentuk lain tersebut. Hal ini diperkuat dengan PTN yang berbentuk Badan Hukum memiliki tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri (Pasal 65 ayat 3b)
Pasal 74
(1)     PTN wajib mencari dan menjaring calon Mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi.

Dalam pasal ini terdapat kuota 20% yang menimbulkan makna penafsiran ambiguitas. Pertama, kuota tersebut menggambarkan bahwa PTN wajib menerima calon mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20%. Kesua, kuota tersebut memberikan keleluasaan bagi PTN untuk menetapkan mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi hanya diterima sebanyak 20% dari seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi. Jika dalam prakteknya kuota tersebut menganut penafsiran yang kedua, maka pasal ini menjadi belenggu bagi mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi atas haknya mendapatkan pendidikan. Jelas bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 31.
Pasal 76
(1)     Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.
(2)     Pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan:
a.       beasiswa kepada Mahasiswa berprestasi;
b.      bantuan atau membebaskan biaya Pendidikan; dan/atau
c.       pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.
(3)     Perguruan Tinggi atau penyelenggara Perguruan Tinggi menerima pembayaran yang ikut ditanggung oleh Mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak yang membiayainya.
(4)     Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.
            Pada pasal 76 ayat (2) c terdapat sistem student loan dalam pemenuhan hak mahasiswa. Ini menjadi masalah tersendiri ketika opsi ini menjadi opsi prioritas yang dilakukan PTN dalam rangka pemenuhan hak mahasiswa. Beban ekonomi berupa hutang yang ditanggung ketika mereka lulus akan memberatkan mahasiswa yang kurang mampu secara finansial.
Pasal 84
(1)     Masyarakat dapat berperan serta dalam pendanaan Pendidikan Tinggi.
(2)     Pendanaan Pendidikan Tinggi yang diperoleh dari Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Perguruan Tinggi dalam bentuk:
a.       hibah;
b.      wakaf;
c.       zakat;
d.      persembahan kasih;
e.       kolekte;
f.       dana punia;
g.      sumbangan individu dan/atau perusahaan;
h.      dana abadi Pendidikan Tinggi; dan/atau
i.        bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Substansi pasal ini merupakan perulangan pasal 46 dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang telah dibatalkan oleh MK dikarenakan bertentangan dengan paragraph ke empat pembukaan  UUD 1945, pasal 33 UUD 1945, dan pasal 31 ayat (4) 1945. MK berpendapat bahwa bahwa oleh karena anggaran pendidikan secara keseluruhan di biayai dan didanai oleh negara, maka bagi satuan pendidikan tingkat dasar hingga perguruan tinggi tidak dapat memperoleh sumber dana langsung dari masyarakat. Sumber dana tersebut harus masuk melalui Pemerintah yang kemudian disalurkan kepada satuan-satuan pendidikan yang akan mendapatkan hibah dana pendidikan.
Pasal 86
(1)        Pemerintah memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri dengan aktif memberikan bantuan dana kepada Perguruan Tinggi.
(2)        Pemerintah memberikan insentif kepada dunia usaha dan dunia industri atau anggota Masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sekali lagi ditemukan substansi pasal yang mengarah kepada lepasnya tanggung jawab pemerintah dalam pengelolaan pendidikan. Dalam hal ini pemerintah hanya menjadi fasilitator dan mempertemukan dunia pendidikan tinggi dengan dunia industri maupun dunia usaha. Dunia industri dan dunia usaha merupakan kegiatan yang berorientasikan profit, memperluas laba dan menekan kerugian seminimal mungkin. Bukan tidak mungkin pada akhirnya Perguruan Tinggi terinterverensi dan menyebabkan hilangnya prinsip nirlaban dengan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.
Menurut pasal 13 International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, pendidikan merupakan hak asasi manusia yang tentunya penyelenggaraannya merupakan tanggung jawab Negara. Hal ini diperkuat dengan UUD 1945 pasal 31. Jelas bias kita simpulkan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 88
(1)     Pemerintah menetapkan standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi secara periodik dengan mempertimbangkan :
a.       capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi;
b.      jenis Program Studi; dan
c.       indeks kemahalan wilayah.
(2)     Standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar untuk mengalokasikan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk PTN.
(3) Standar satuan biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar oleh PTN untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa.
(4)     Biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.
(5)     Ketentuan lebih lanjut mengenai standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal inilah yang dijadikan ‘senjata ampuh’ untuk membuat kebijakan yang mengatur pembiayaan pertisipasi masyarakat terhadap Perguruan Tinggi, yakni kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Kegamangan menghiasi kebijakan UKT dikarenakan adanya ketidakjelasan hokum. Pasal ini tidak memberikan jaminan hak rakyat atas Pendidikan Tinggi. Apalagi dalam ayat (3) terdapat frasa “…digunakan sebagai dasar oleh PTN untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa” yang memberikan keleluasaan PTN untuk menentukan biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa. Pasal ini juga berpotensi menutup akses rakyat yang kurang mampu secara financial untuk dapat menikmati Pendidikan Tinggi.
Pasal 90
(1)     Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan Pendidikan Tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terakreditasi dan/atau diakui di negaranya.
(3)     Pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan Program Studi yang dapat diselenggarakan Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)     Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a.       memperoleh izin Pemerintah;
b.      berprinsip nirlaba;
c.       bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin Pemerintah; dan
d.      mengutamakan Dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia.
(5) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendukung kepentingan nasional.
(6)     Ketentuan lebih lanjut mengenai Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.
Sermangat globalisasi kembali muncul dan ditunjukkan dalam pasal ini. Pasal ini juga terindikasi merupakan pasal ‘titipan’ dari korporat asing besar yakni IMF (International Monetary Fund). Hal ini didasari menurut IMF sebagai salah satu institusi pilar globalisasi, globalisasi ekonomi adalah sebuah proses historis. Globalisasi merujuk pada integrasi ekonomi yang terus meningkat di antara bangsa-bangsa di muka bumi, terutama lewat arus perdagangan dan keuangan. Lalu apa hubungannya dengan pendidikan Nasional? Tentu saja mekanisme pasar bebas! Regulasi ini memberikan potensi masyarakat akan lebih memilih Perguruan Tinggi asing tersebut dan Perguruan Tinggi Nasional akan semakin terbelakang. Dunia pendidikan Nasional tidak seharusnya diperjualbelikan. Selain itu, seperti yang sudah di jelaskan dalam argumentasi pasal 50 bahwa tidak menutup kemungkinan pasal ini mengancam jati diri NKRI dengan adanya infiltrasi ideologi Negara yang bersangkutan. Hal ini dapat menciderai tujuan pendidikan Nasional.
Ada beberapa pokok permasalahan inti dalam substansi UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi yang dapat disimpulkan secara garis besar, yaitu:
         1)         Adanya campur tangan dan penetrasi asing yang menginjeksikan kepentingan tertentu.
Hal ini dapat dilihat dari semangat substansi UU No. 12 Tahun 2012 yang mengarah kepada globalisasi, liberalisasi, pro-pasar, swastanisasi, dan komersialisasi pendidikan Nasional. Sangat kental ditunjukkan pada pasal 50, pasal 90 dan pasal-pasal yang menunjukkan semangat otonomi.
         2)          Adanya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam pengelolaan Pendidikan.
Hal ini ditunjukkan melalui masih digunakannya sistem otonomi, Badan Hukum, kerjasama, dan hal-hal lainnya yang berpotensi menutup akses hak rakyat atas pendidikan dengan semakin tidak terjangkaunya Pendidikan Tinggi. Tentunya pelepasan tanggung jawab pemerintah ini bertentangan dengan UUD 1945 dan dapat menciderai tujuan pendidikan Nasional. Tercitrakan pada pasal 62, pasal 63, pasal 64, pasal 65, pasal 73, pasal 74, pasal 76, pasal 84, pasal 86, dan pasal 88
         3)         Adanya ketidakpastian hukum yang berpotensi munculnya ‘wajah-wajah’ regulasi baru.
Hal ini dapat ditinjau dari banyaknya pasal dimana ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri ataupun aturan-aturan lainnya. Tercatat kurang lebih sekitar 40 pasal yang masih butuh penjelasan lebih lanjut yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, atau peraturan-peraturan lainnya.











C.    Analisis Permenristek- Dikti Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi

PASAL 1
Standar Nasional Pendidikan Tinggi adalah satuan standar yang meliputi Standar Nasional Pendidikan, ditambah dengan Standar Nasional Penelitian, dan Standar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat.
Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang pembelajaran pada jenjang pendidikan tinggi di perguruan tinggi di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.          
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai capaian pembelajaran lulusan, bahan kajian, proses, dan penilaian yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan program studi.
Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, program profesi, program spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.
Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
Program Studi adalah kesatuan kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang memiliki kurikulum dan metode pembelajaran tertentu dalam satu jenis pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan/atau pendidikan vokasi.
Satuan Kredit Semester, yang selanjutnya disingkat sks adalah takaran waktu kegiatan belajar yang di bebankan pada mahasiswa per minggu per semester dalam proses pembelajaran melalui berbagai bentuk pembelajaran atau besarnya pengakuan atas keberhasilan usaha mahasiswa dalam mengikuti kegiatan kurikuler di suatu program studi.
Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Tenaga Kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan tinggi antara lain, pustakawan, tenaga administrasi, laboran dan teknisi, serta pranata teknik informasi.
PASAL 3
Standar Nasional Pendidikan Tinggi bertujuan untuk:
a.       menjamin tercapainya tujuan pendidikan tinggi yang berperan strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan;
b.      menjamin agar pembelajaran pada program studi, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia mencapai mutu sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan Tinggi; dan
c.       mendorong agar perguruan tinggi di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia mencapai mutu pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat melampaui kriteria yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan Tinggi secara berkelanjutan.
Standar Nasional Pendidikan Tinggi wajib:
a.       dipenuhi oleh setiap perguruan tinggi untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional;
b.      dijadikan dasar untuk pemberian izin pendirian perguruan tinggi dan izin pembukaan program studi;
c.       dijadikan dasar penyelenggaraan pembelajaran berdasarkan kurikulum pada program studi;


PASAL 4
Standar Nasional Pendidikan terdiri atas:
a.       standar kompetensi lulusan;
b.      standar isi pembelajaran;
c.       standar proses pembelajaran;
d.      standar penilaian pembelajaran;
e.       standar dosen dan tenaga kependidikan;
f.       standar sarana dan prasarana pembelajaran;
g.      standar pengelolaan pembelajaran; dan
h.      standar pembiayaan pembelajaran.
PASAL 18
Beban belajar mahasiswa program diploma dua, program diploma tiga, program diploma empat/sarjana terapan, dan program sarjana yang berprestasi akademik tinggi, setelah 2 (dua) semester pada tahun akademik yang pertama dapat mengambil maksimum 24 (dua puluh empat) sks per semester pada semester berikut.
Mahasiswa program magister, program magister terapan, atau program yang setara yang berprestasi akademik tinggi dapat melanjutkan ke program doktor atau program doktor terapan, setelah paling sedikit 2 (dua) semester mengikuti program magister atau program magister terapan, tanpa harus lulus terlebih dahulu dari program magister atau program magister terapan tersebut.
Mahasiswa program magister atau program magister terapan yang melanjutkan ke program doktor atau program doktor terapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menyelesaikan program magister atau program magister terapan sebelum menyelesaikan program doktor.

Mahasiswa berprestasi akademik tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan mahasiswa yang mempunyai indeks prestasi semester (IPS) lebih besar dari 3,00 (tiga koma nol nol) dan memenuhi etika akademik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar