Nama
: Iwan Sopwandin
NIM : 1142010039
Tugas
: Manajemen Perguruan Tinggi
1.
Analisis Permenristekdikti Nomer 32 Tahun 2016 tentang Akreditasi
Prodi dan AIPT
Dijelaskan
bahwa akreditasi program studi adalah kegiatan penilaian untuk menentukan
kelayakan program studi, sedangkan akreditasi perguruan tinggi adalah kegiatan
penilaian untuk menentukan kelayakan perguruan tinggi. Adapun yang dimaksud
dengan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) adalah badan yang
dibentuk oleh pemerintah untuk melakukan dan mengembangkan akreditasi perguruan tinggi secara mandiri.
Standar
Nasional Pendidikan Tinggi adalah satuan standar yang meliputi standar nasional
pendidikan, ditambah dengan standar penelitian, dan standar pengabdian kepada
masyarakat.
Program
Studi adalah kesatuan kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang memiliki
kurikulum dan metode pembelajaran tertentu dalam satu jenis pendidikan
akademik, pendidikan profesi, dan/atau pendidikan vokasi. Masa berlaku status
akreditasi dan peringkat terakreditasi Program Studi dan/atau Perguruan Tinggi
adalah 5 (lima) tahun.
Dalam
masa berlaku status akreditasi dan peringkat terakreditasi Program Studi
dan/atau Perguruan Tinggi, BAN-PT atau LAM melakukan pemantauan dan evaluasi
terhadap pemenuhan syarat status akreditasi dan peringkat terakreditasi Program
Studi dan Perguruan Tinggi yang telah ditetapkan. Status akreditasi dan peringkat terakreditasi
Program Studi dan Perguruan Tinggi diumumkan kepada masyarakat.
Instrumen akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi disusun
berdasarkan interaksi antarstandar di dalam Standar Pendidikan Tinggi.
Instrumen akreditasi Program Studi sebagaimana dimaksud disusun berdasarkan :
a.
jenis
pendidikan, yaitu vokasi, akademik, profesi;
b.
program
pendidikan, yaitu program diploma, sarjana, sarjana terapan, magister, magister
terapan, profesi, spesialis, doktor, dan doktor terapan;
c.
modus
pembelajaran, yaitu tatap muka dan jarak jauh; dan
d.
hal-hal
khusus.
Tugas
dan wewenang BAN-PT :
a.
Mengembangkan
sistem akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi selaras dengan kebijakan
pengembangan pendidikan tinggi;
b.
Menyusun
dan menetapkan instrumen akreditasi Perguruan Tinggi berdasarkan Standar
Pendidikan Tinggi;
c.
Melakukan
akreditasi Perguruan Tinggi;
d.
Menerbitkan,
mengubah, atau mencabut keputusan tentang status akreditasi dan peringkat
terakreditasi Perguruan Tinggi;
e.
Memeriksa,
melakukan uji kebenaran, dan memutuskan keberatan yang diajukan atas status
akreditasi dan/atau peringkat terakreditasi Perguruan Tinggi;
f.
Membangun
dan mengembangkan jejaring dengan pemangku kepentingan baik di tingkat nasional
maupun internasional;
g.
Melakukan
penilaian kelayakan pendirian LAM sebagai dasar rekomendasi pengakuan Menteri
kepada LAM;
h.
Mengevaluasi
kinerja LAM secara berkala yang hasilnya disampaikan kepada Menteri;
i.
Menyusun
instrumen evaluasi pendirian Perguruan Tinggi berdasarkan Standar Nasional
Pendidikan Tinggi bersama dengan Direktur Jenderal Kelembagaan Ilmu Pengetahuan,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi;
j.
Memberikan
rekomendasi pemenuhan persyaratan minimum akreditasi untuk pendirian Perguruan
Tinggi kepada Direktorat Jenderal Kelembagaan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi; dan
k.
Menyampaikan
laporan hasil akreditasi dilengkapi dengan rekomendasi secara berkala kepada
Menteri.
Tugas
dan wewenang Majelis Akreditasi :
a.
Menetapkan
kebijakan dan pengembangan sistem akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi
secara nasional;
b.
Menetapkan
kebijakan pelaksanaan akreditasi Perguruan Tinggi dengan mempertimbangkan usul
Dewan Eksekutif;
c.
Mengesahkan
Rencana Strategis, Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan BAN-PT yang diusulkan
oleh Dewan Eksekutif dan menyampaikan kepada Menteri;
d.
Menetapkan
instrumen akreditasi Perguruan Tinggi;
e.
Menetapkan
instrumen akreditasi Program Studi atas usul LAM;
f.
Memberikan
rekomendasi atas usul pendirian LAM dari Pemerintah atau masyarakat kepada
Menteri;
g.
Memantau,
mengevaluasi dan mengawasi kinerja LAM;
h.
Menindaklanjuti
dan memutuskan keberatan atas status akreditasi dan/atau peringkat
terakreditasi Perguruan Tinggi;
i.
Memberikan
rekomendasi kepada Menteri tentang pencabutan pengakuan LAM berdasarkan hasil
evaluasi sebagaimana dimaksud pada huruf g;
j.
Memantau,
mengevaluasi, dan mengawasi kinerja Dewan Eksekutif;
k.
Melakukan
evaluasi dan memberi persetujuan terhadap laporan Dewan Eksekutif;
l.
Melakukan
koordinasi dengan unit kerja terkait di lingkungan Kementerian;
m.
Membangun
dan mengembangkan jejaring dengan pemangku kepentingan baik di tingkat nasional
maupun internasional; dan
n.
Melaporkan
pelaksanaan tugas kepada Menteri setiap semester dan setiap tahun.
Tugas
dan wewenang Dewan Eksekutif :
a.
Melaksanakan
kebijakan sistem akreditasi Perguruan Tinggi secara nasional yang telah
ditetapkan oleh Majelis Akreditasi;
b.
Menyusun
Rencana Strategis, Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan BAN-PT untuk diusulkan
kepada Majelis Akreditasi;
c.
Melaksanakan
Rencana Strategis, Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan BAN-PT yang telah
ditetapkan Menteri;
d.
Menyiapkan
kebijakan pelaksanaan akreditasi Perguruan Tinggi untuk diusulkan kepada
Majelis Akreditasi;
e.
Menjalankan
kebijakan pelaksanaan akreditasi Perguruan Tinggi, termasuk penilaian kembali
hasil akreditasi Perguruan Tinggi;
f.
Menerima
dan menyampaikan usul instrumen akreditasi Program Studi dari LAM kepada
Majelis Akreditasi;
g.
Menyampaikan
rekomendasi pendirian dan pencabutan pengakuan LAM kepada Menteri;
h.
Melakukan
pemantauan dan evaluasi terhadap pemenuhan syarat status akreditasi dan
peringkat terakreditasi Perguruan Tinggi yang telah ditetapkan;
i.
Menyusun
dan menyampaikan laporan secara berkala kepada Majelis Akreditasi;
j.
Menyiapkan
dan melaksanakan kegiatan aliansi strategis BAN-PT setelah mendapat persetujuan
Majelis Akreditasi;
k.
Menyelenggarakan
kegiatan akreditasi sesuai dengan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi;
l.
Mengusulkan
pengembangan sistem informasi, penelitian dan pengembangan sistem akreditasi
kepada Majelis Akreditasi;
m.
Mengelola
asesor BAN-PT, mulai dari rekrutmen, pelatihan dan pengembangan serta
pemberhentian asesor setelah mendapat pertimbangan dari Majelis Akreditasi;
n.
Mengangkat
tim ahli dan panitia ad hoc sesuai kebutuhan; dan
o.
Menjalankan
tugas teknis dan administratif.
Izin
pembukaan Program Studi dan/atau izin pendirian Perguruan Tinggi yang sudah
diterbitkan sebelum tanggal 10 Agustus 2012 dinyatakan tetap berlaku. Program Studi dan/atau Perguruan Tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum terakreditasi, dinyatakan
terakreditasi dan tunduk pada Peraturan Menteri ini. Program Studi dan/atau
Perguruan Tinggi yang dinyatakan terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), harus melakukan akreditasi ulang paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan
Menteri ini diberlakukan. Status akreditasi dan peringkat terakreditasi Program
Studi dan/atau Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah
diterbitkan oleh BAN-PT masih tetap berlaku sampai status akreditasi dan
peringkat terakreditasi yang ditetapkan oleh BAN-PT berakhir. Status akreditasi
dan peringkat terakreditasi Program Studi dan/atau Perguruan Tinggi sebagaimana
tercantum dalam Keputusan Menteri tentang izin pembukaan Program Studi dan/atau
izin pendirian Perguruan Tinggi yang diterbitkan antara 10 Agustus 2012 sampai
dengan diterbitkan Peraturan Menteri ini, dinyatakan tetap berlaku selama 5
(lima) tahun terhitung sejak Keputusan Menteri tersebut ditetapkan.
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, anggota BAN-PT sebagaimana
dimaksud dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 174/P/2012
tentang Anggota Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, Badan Akreditasi
Nasional Sekolah/Madrasah, dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal
Periode Tahun 2012-2017 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 193/P/2012 tentang perubahan atas Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 174/P/2012 tentang anggota Badan
Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, Badan Akreditasi Nasional
Sekolah/Madrasah, dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal Periode
Tahun 2012-2017 sepanjang mengenai keanggotaan BAN-PT tetap menjalankan
tugasnya sampai ditetapkan anggota BAN-PT sesuai dengan Peraturan Menteri ini.
2.
Analisis UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
A.
Pandangan Filosofis dan Historis
“….Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan Bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,….”
Maka
telah ‘gamblang’ dijelaskan dalam pembukaan (preambule) UUD 1945 bahwa
mencerdaskan kehidupan Bangsa merupakan kewajiban konstituonal yang harus
dijalankan oleh Negara. Hal ini merupakan perwujudan cita-cita Indonesia dalam
meraih kemerdekaan. Mengingat pada zaman penjajahan, Bangsa Indonesia berada
dalam posisi tidak terdidik dan pendidikan hanya diperoleh bagi kaum tertentu.
Bahwa pendidikan kemudian juga menjadi hak bagi setiap warga Negara telah
ditegaskan dalam batang tubuh UUD 1945 pada pasal 31 ayat (1). Dalam norma
hukum Internasional, hak warga Negara memperoleh pendidikan juga termaktub
dalam Universal Declaration on Human Rights pasal 26 bahwa pendidikan
yang bertujuan untuk untuk mengembangkan kemanusiaan, wajib diterapkan untuk dapat
diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
Namun untuk mewujudkan kehidupan Bangsa yang cerdas, berbagai
prahara terus menerpa Indonesia. Salah satu akar permasalahannya adalah ketika
Indonesia yang diwakili oleh pemerintah sepakat untuk masuk ke dalam bagian
World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994. Sebagai bentuk konsekuensinya,
Indonesia harus ‘tunduk’ kepada aturan-aturan pokok yang ditetapkan dalam
perjanjian General Agreement on Trade in Service (GATS). Pada perjanjian
tersebut terdapat 12 sektor jasa yang dimasukkan dalam komoditas perdagangan
jasa internasional, termasuk pendidikan. Inilah awal dibukanya ‘keran’
komersialisasi dan liberalisasi pendidikan Nasional dalam wujud penetrasi
asing.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa Negara berkembang
yang mudah dijadikan Negara komprador, Negara subordinat, atau Negara pelayan
kepentingan kapitalisme internasional adalah Negara yang para pemimpinnya masih
menderita penjajahan mental. Bermental inlander. Maka boleh jadi Indonesia
memang dipimpin oleh pemimpin bermental inlander dengan disahkannya UU No. 9
Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang substansinya merupakan UU
titipan produk liberal dan telah ‘dimandulkan’ oleh Mahkamah Konstitusi. Namun
pada tanggal 10 Agustus 2012 telah disahkan sebuah produk hukum yang
diindikasikan reinkarnasi dari UU BHP, yakni UU No. 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi.
B.
Tinjauan Substansi
Dalam substansi UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi
perlu kita cermati beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan.
Pasal 50
(1) Kerja sama
internasional Pendidikan Tinggi merupakan proses interaksi dalam
pengintegrasian dimensi internasional ke dalam kegiatan akademik untuk berperan
dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan nilai-nilai keindonesiaan.
(2) Kerja sama
internasional harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan saling menghormati
dengan mempromosikan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan nilai kemanusiaan yang
memberi manfaat bagi kehidupan manusia.
(3) Kerja sama
internasional mencakup bidang Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada
Masyarakat.
(4) Kerja sama
internasional dalam pengembangan Pendidikan Tinggi dapat dilakukan, antara
lain, melalui:
a.
hubungan
antara lembaga Pendidikan Tinggi di Indonesia dan lembaga Pendidikan Tinggi
negara lain dalam kegiatan penyelenggaraan Pendidikan yang bermutu;
b.
pengembangan
pusat kajian Indonesia dan budaya lokal pada Perguruan Tinggi di dalam dan di
luar negeri; dan
c.
pembentukan
komunitas ilmiah yang mandiri.
(5) Kebijakan nasional mengenai kerja sama internasional Pendidikan
Tinggi ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
Substansi
dari pasal 50 merupakan etikad baik dari pemerintah untuk memperkenalkan arus
globalisasi terhadap pendidikan. Namun kita wajib mendefinisikan apa itu
globalisasi secara utuh dan komprehensif sebelum pendidikan nasional
benar-benar siap mengarah kesana. Terdapat frase “…..pengintegrasian
dimensi internasional ke dalam kegiatan akademik untuk berperan dalam pergaulan
internasional tanpa kehilangan nilai-nilai keindonesiaan.” Menurut Jan
Aart Scholtc, secara garis besar ada 5 definisi luas tentang globalisasi
seperti ditemukan dalam literatur yang salah satunya : Globalisasi sebagai
westernisasi atau modernisasi, yakni merebaknya ke seluruh dunia struktur
modernitas barat yang menyangkut kapitalisme, rasionalisme, industrialism,
birokratisme, dan lain sebagainya yang cenderung merusak budaya lokal yang
sudah ada lebih dulu.
Soekarno pernah menyatakan bahwa arti kebangsaan Indonesia bukan
kebangsaan yang chauvinistic, yang sempit dan menyendiri, tetapi
kebangsaan yang menjadi bagian dari dunia. Akan tetapi perlu kita refleksi
sejenak sebelum menuju globalisasi, yakni penguatan rasa nasionalisme. Apakah
pendidikan kita sudah menanamkan rasa nasionalisme dalam arti cinta kepada
Indonesia yang sebenar-benarnya? Apakah pemerintah berani menjamin bahwa
nilai-nilai keindonesiaan pada pendidikan tidak akan luntur ketika dihantam
arus globalisasi. Saya kira tidak!
Pasal 62
(1)
Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai
pusat penyelenggaraan Tridharma.
(2)
Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi.
(3)
Dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi untuk melaksanakan otonomi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dievaluasi secara mandiri oleh Perguruan
Tinggi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
evaluasi dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi untuk melaksanakan
otonomi sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 63
Otonomi
pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip:
a.
akuntabilitas;
b.
transparansi;
c.
nirlaba;
d.
penjaminan
mutu; dan
e.
efektivitas
dan efisiensi.
Pasal 64
(1)
Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 meliputi bidang akademik dan bidang nonakademik.
(2)
Otonomi pengelolaan di bidang akademik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta
pelaksanaan Tridharma.
(3)
Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta
pelaksanaan:
a.
organisasi;
b.
keuangan;
c.
kemahasiswaan;
d.
ketenagaan;
dan
e.
sarana
prasarana.
Penyajian otonomi dalam pengelolaan
Perguruan Tinggi jelas adanya merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab Negara.
Logika korporat asing muncul dalam pasal ini. Logika swastanisasi yang termasuk
dalam konsep liberalisasi. World Bank beranggapan bahwa ”But at the
core of higher education systems are actors that do not operate directly under
the responsibility of higher education departments : private higher education
institutions.”
Dalam
pasal 63c dan pasal 64 ayat (3) b terdapat ketidakkonsistensian regulasi.
Prinsip nirlaba yang tidak mengutamakan pencarian keuntungan, disisi lain
memberikan kesempatan Perguruan Tinggi dalam mengelola keuangannya secara
otonom.
MK dalam amar putusan pembatalan UU BHP mempertanyakan apakah betul
bahwa ada hubungan kausal fungsional antara otonomi pengelolaan pendidikan
formal dengan mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional
berdasarkan Pancasila, artinya apakah untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut
secara mutlak harus diperlukan otonomi pengelolaan pendidikan formal, atau dengan
kata lain otonomi pengelolaan pendidikan formal merupakan conditio sine qua
nonbagi pencapaian tujuan pendidikan. Hal yang dapat dipertanyakan juga apakah
otonomi pengelolaan pendidikan formal merupakan sebuah keharusan yang
diamanatkan oleh UUD 1945, ataukah diperlukannya otonomi tersebut berdasarkan
atas kajian empirik yang membuktikan bahwa tanpa otonomi tujuan pendidikan
nasional tidak dapat secara maksimal dicapai, ataukah dalil tersebut hanya
merupakan spekulasi, yang hanya didasari atas intuisi, yang pada praktiknya
dapat hanya bersifat trial and error belaka.
Pasal 65
(1) Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan
evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk
menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.
(2)
PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tata kelola dan kewenangan
pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki:
a.
kekayaan
awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah;
b.
tata
kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri;
c.
unit
yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi;
d.
hak
mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel;
e.
wewenang
mengangkat dan memberhentikan sendiri Dosen dan tenaga kependidikan;
f.
wewenang
mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi; dan
g.
wewenang
untuk membuka, menyelenggarakan, dan menutup Program Studi.
(4)
Pemerintah memberikan penugasan kepada PTN badan hukum untuk menyelenggarakan
fungsi Pendidikan Tinggi yang terjangkau oleh Masyarakat.
(5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan otonomi
PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dalam
pasal ini dijelaskan bahwa Perguruan Tinggi terbagi menjadi dua pola
pengelolaan keuangan, yakni Badan Layanan Umum (BLU) dan Badan Hukum. Namun
dalam hal ini tidak ada kejelasan secara detail mengenai apa yang menjadi
pertimbangan PTN berbentuk BLU atau Badan Hukum. Selain itu, dalam pasal ini
juga secara jelas adanya keberpihakan terhadap PTN yang berbentuk Badan Hukum
dengan diperolehnya akses-akses tertentu.
Dalam amar putusan putusan nomor 11-14-21-126-136/PUU tentang
pembatalan UU BHP Mahkamah berpendapat, istilah “badan hukum pendidikan”
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas bukanlah nama dan
bentuk badan hukum tertentu, melainkan sebutan dari fungsi penyelenggara
pendidikan yang berarti bahwa suatu lembaga pendidikan harus dikelola oleh
suatu badan hukum. Adapun bentuk badan hukum itu dapat bermacam-macam sesuai
dengan bentuk-bentuk yang dikenal dalam peraturan perundang-undangan, misalnya
yayasan, perkumpulan, perserikatan, badan wakaf, dan sebagainya. Oleh sebab
itu, Penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas menjadi tidak diperlukan karena
Penjelasan Pasal a quo mempersempit arti badan hukum pendidikan dan
bertentangan dengan maksud pasal a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil
para Pemohon beralasan menurut hukum sepanjang pengertian badan hukum
pendidikan dalam Pasal 53 ayat (1) a quotidak diartikan sebagai nama dan bentuk
badan hukum tertentu, melainkan sebutan dari fungsi penyelenggara pendidikan
yang berarti bahwa suatu lembaga pendidikan harus dikelola oleh suatu badan
hukum. Artinya, Badan Hukum seharusnya menjalankan fungsi pengelolaan
pendidikan kepada masyarakat, bukan merupakan format-format kelembagaan yang
mendapat akses-akses tertentu.
Pasal 73
(1) Penerimaan Mahasiswa baru PTN untuk setiap
Program Studi dapat dilakukan melalui pola penerimaan Mahasiswa secara nasional
dan bentuk lain.
Terdapat frase bentuk lain yang dapat dintepretasikan bahwa PTN
diperbolehkan melakukan jalur-jalur masuk di luar jalur penerimaan mahasiswa
secara nasional. Hal ini memberikan peluang bagi PTN untuk membebani masyarakat
dengan pembiayaan-pembiayaan lain melalui jalur bentuk lain tersebut. Hal ini
diperkuat dengan PTN yang berbentuk Badan Hukum memiliki tata kelola dan
pengambilan keputusan secara mandiri (Pasal 65 ayat 3b)
Pasal 74
(1) PTN wajib mencari dan menjaring calon
Mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara
ekonomi dan calon Mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk
diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh Mahasiswa baru yang
diterima dan tersebar pada semua Program Studi.
Dalam pasal ini terdapat kuota 20% yang menimbulkan makna
penafsiran ambiguitas. Pertama, kuota tersebut menggambarkan bahwa PTN wajib
menerima calon mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20%.
Kesua, kuota tersebut memberikan keleluasaan bagi PTN untuk menetapkan
mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi hanya diterima sebanyak 20% dari
seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi.
Jika dalam prakteknya kuota tersebut menganut penafsiran yang kedua, maka pasal
ini menjadi belenggu bagi mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi atas haknya
mendapatkan pendidikan. Jelas bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 31.
Pasal 76
(1)
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi
berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk
dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.
(2)
Pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara memberikan:
a.
beasiswa
kepada Mahasiswa berprestasi;
b.
bantuan
atau membebaskan biaya Pendidikan; dan/atau
c.
pinjaman
dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh
pekerjaan.
(3)
Perguruan Tinggi atau penyelenggara Perguruan Tinggi
menerima pembayaran yang ikut ditanggung oleh Mahasiswa untuk membiayai studinya
sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak yang
membiayainya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan
hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur
dalam Peraturan Menteri.
Pada pasal 76
ayat (2) c terdapat sistem student loan dalam pemenuhan hak
mahasiswa. Ini menjadi masalah tersendiri ketika opsi ini menjadi opsi
prioritas yang dilakukan PTN dalam rangka pemenuhan hak mahasiswa. Beban
ekonomi berupa hutang yang ditanggung ketika mereka lulus akan memberatkan
mahasiswa yang kurang mampu secara finansial.
Pasal 84
(1)
Masyarakat dapat berperan serta dalam pendanaan Pendidikan Tinggi.
(2)
Pendanaan Pendidikan Tinggi yang diperoleh dari Masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Perguruan Tinggi
dalam bentuk:
a.
hibah;
b.
wakaf;
c.
zakat;
d.
persembahan
kasih;
e.
kolekte;
f.
dana
punia;
g.
sumbangan
individu dan/atau perusahaan;
h.
dana
abadi Pendidikan Tinggi; dan/atau
i.
bentuk
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Substansi pasal ini merupakan perulangan pasal 46 dalam UU No. 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang telah dibatalkan oleh MK
dikarenakan bertentangan dengan paragraph ke empat pembukaan UUD 1945,
pasal 33 UUD 1945, dan pasal 31 ayat (4) 1945. MK berpendapat bahwa bahwa oleh
karena anggaran pendidikan secara keseluruhan di biayai dan didanai oleh
negara, maka bagi satuan pendidikan tingkat dasar hingga perguruan tinggi tidak
dapat memperoleh sumber dana langsung dari masyarakat. Sumber dana tersebut
harus masuk melalui Pemerintah yang kemudian disalurkan kepada satuan-satuan
pendidikan yang akan mendapatkan hibah dana pendidikan.
Pasal 86
(1)
Pemerintah memfasilitasi dunia usaha dan dunia
industri dengan aktif memberikan bantuan dana kepada Perguruan Tinggi.
(2) Pemerintah memberikan
insentif kepada dunia usaha dan dunia industri atau anggota Masyarakat yang
memberikan bantuan atau sumbangan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sekali
lagi ditemukan substansi pasal yang mengarah kepada lepasnya tanggung jawab
pemerintah dalam pengelolaan pendidikan. Dalam hal ini pemerintah hanya menjadi
fasilitator dan mempertemukan dunia pendidikan tinggi dengan dunia industri
maupun dunia usaha. Dunia industri dan dunia usaha merupakan kegiatan yang
berorientasikan profit, memperluas laba dan menekan kerugian seminimal mungkin.
Bukan tidak mungkin pada akhirnya Perguruan Tinggi terinterverensi dan
menyebabkan hilangnya prinsip nirlaban dengan mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya.
Menurut pasal 13 International Covenant on Economic, Social, and
Cultural Rights, pendidikan merupakan hak asasi manusia yang tentunya
penyelenggaraannya merupakan tanggung jawab Negara. Hal ini diperkuat dengan
UUD 1945 pasal 31. Jelas bias kita simpulkan bahwa pasal tersebut bertentangan
dengan UUD 1945.
Pasal 88
(1)
Pemerintah menetapkan standar satuan biaya operasional
Pendidikan Tinggi secara periodik dengan mempertimbangkan :
a.
capaian
Standar Nasional Pendidikan Tinggi;
b.
jenis
Program Studi; dan
c.
indeks
kemahalan wilayah.
(2)
Standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar untuk mengalokasikan anggaran
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk PTN.
(3) Standar
satuan biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai
dasar oleh PTN untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa.
(4)
Biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi Mahasiswa, orang tua
Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar
satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal inilah yang dijadikan ‘senjata ampuh’ untuk membuat kebijakan
yang mengatur pembiayaan pertisipasi masyarakat terhadap Perguruan Tinggi,
yakni kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Kegamangan menghiasi kebijakan UKT
dikarenakan adanya ketidakjelasan hokum. Pasal ini tidak memberikan jaminan hak
rakyat atas Pendidikan Tinggi. Apalagi dalam ayat (3) terdapat
frasa “…digunakan sebagai dasar oleh PTN untuk menetapkan biaya yang
ditanggung oleh Mahasiswa” yang memberikan keleluasaan PTN untuk
menentukan biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa. Pasal ini juga berpotensi
menutup akses rakyat yang kurang mampu secara financial untuk dapat menikmati
Pendidikan Tinggi.
Pasal 90
(1)
Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan Pendidikan Tinggi
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Perguruan
Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah
terakreditasi dan/atau diakui di negaranya.
(3)
Pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan Program Studi yang
dapat diselenggarakan Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(4)
Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib:
a.
memperoleh
izin Pemerintah;
b.
berprinsip
nirlaba;
c.
bekerja
sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin Pemerintah; dan
d.
mengutamakan
Dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia.
(5) Perguruan
Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendukung
kepentingan nasional.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perguruan
Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan
ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.
Sermangat
globalisasi kembali muncul dan ditunjukkan dalam pasal ini. Pasal ini juga
terindikasi merupakan pasal ‘titipan’ dari korporat asing besar yakni IMF
(International Monetary Fund). Hal ini didasari menurut IMF sebagai salah satu
institusi pilar globalisasi, globalisasi ekonomi adalah sebuah proses historis.
Globalisasi merujuk pada integrasi ekonomi yang terus meningkat di antara
bangsa-bangsa di muka bumi, terutama lewat arus perdagangan dan keuangan. Lalu
apa hubungannya dengan pendidikan Nasional? Tentu saja mekanisme pasar bebas!
Regulasi ini memberikan potensi masyarakat akan lebih memilih Perguruan Tinggi
asing tersebut dan Perguruan Tinggi Nasional akan semakin terbelakang. Dunia
pendidikan Nasional tidak seharusnya diperjualbelikan. Selain itu, seperti yang
sudah di jelaskan dalam argumentasi pasal 50 bahwa tidak menutup kemungkinan
pasal ini mengancam jati diri NKRI dengan adanya infiltrasi ideologi Negara
yang bersangkutan. Hal ini dapat menciderai tujuan pendidikan Nasional.
Ada
beberapa pokok permasalahan inti dalam substansi UU No. 12 Tahun 2012 Tentang
Pendidikan Tinggi yang dapat disimpulkan secara garis besar, yaitu:
1)
Adanya
campur tangan dan penetrasi asing yang menginjeksikan kepentingan tertentu.
Hal ini dapat dilihat dari semangat
substansi UU No. 12 Tahun 2012 yang mengarah kepada globalisasi, liberalisasi,
pro-pasar, swastanisasi, dan komersialisasi pendidikan Nasional. Sangat kental
ditunjukkan pada pasal 50, pasal 90 dan pasal-pasal yang menunjukkan semangat otonomi.
2)
Adanya
pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam pengelolaan Pendidikan.
Hal ini ditunjukkan melalui masih
digunakannya sistem otonomi, Badan Hukum, kerjasama, dan hal-hal lainnya yang
berpotensi menutup akses hak rakyat atas pendidikan dengan semakin tidak
terjangkaunya Pendidikan Tinggi. Tentunya pelepasan tanggung jawab pemerintah
ini bertentangan dengan UUD 1945 dan dapat menciderai tujuan pendidikan
Nasional. Tercitrakan pada pasal 62, pasal 63, pasal 64, pasal 65, pasal 73,
pasal 74, pasal 76, pasal 84, pasal 86, dan pasal 88
3)
Adanya
ketidakpastian hukum yang berpotensi munculnya ‘wajah-wajah’ regulasi baru.
Hal ini dapat ditinjau dari
banyaknya pasal dimana ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah, Peraturan Menteri ataupun aturan-aturan lainnya. Tercatat kurang
lebih sekitar 40 pasal yang masih butuh penjelasan lebih lanjut yang akan
diatur dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, atau peraturan-peraturan
lainnya.
C.
Analisis Permenristek- Dikti Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar
Nasional Pendidikan Tinggi
PASAL 1
Standar
Nasional Pendidikan Tinggi adalah satuan standar yang meliputi Standar Nasional
Pendidikan, ditambah dengan Standar Nasional Penelitian, dan Standar Nasional
Pengabdian kepada Masyarakat.
Standar
Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang pembelajaran pada jenjang
pendidikan tinggi di perguruan tinggi di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai capaian pembelajaran
lulusan, bahan kajian, proses, dan penilaian yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan program studi.
Pendidikan
Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup
program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, program
profesi, program spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi
berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.
Perguruan
Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
Program
Studi adalah kesatuan kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang memiliki
kurikulum dan metode pembelajaran tertentu dalam satu jenis pendidikan
akademik, pendidikan profesi, dan/atau pendidikan vokasi.
Satuan
Kredit Semester, yang selanjutnya disingkat sks adalah takaran waktu kegiatan
belajar yang di bebankan pada mahasiswa per minggu per semester dalam proses
pembelajaran melalui berbagai bentuk pembelajaran atau besarnya pengakuan atas
keberhasilan usaha mahasiswa dalam mengikuti kegiatan kurikuler di suatu
program studi.
Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama
mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Tenaga Kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri
dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan tinggi antara lain,
pustakawan, tenaga administrasi, laboran dan teknisi, serta pranata teknik
informasi.
PASAL 3
Standar
Nasional Pendidikan Tinggi bertujuan untuk:
a.
menjamin
tercapainya tujuan pendidikan tinggi yang berperan strategis dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa, memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menerapkan
nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang
berkelanjutan;
b.
menjamin
agar pembelajaran pada program studi, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi di seluruh wilayah hukum
Negara Kesatuan Republik Indonesia mencapai mutu sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan Tinggi; dan
c.
mendorong
agar perguruan tinggi di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia mencapai mutu pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat melampaui kriteria yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan
Tinggi secara berkelanjutan.
Standar
Nasional Pendidikan Tinggi wajib:
a.
dipenuhi
oleh setiap perguruan tinggi untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional;
b.
dijadikan
dasar untuk pemberian izin pendirian perguruan tinggi dan izin pembukaan
program studi;
c.
dijadikan
dasar penyelenggaraan pembelajaran berdasarkan kurikulum pada program studi;
PASAL 4
Standar
Nasional Pendidikan terdiri atas:
a.
standar
kompetensi lulusan;
b.
standar
isi pembelajaran;
c.
standar
proses pembelajaran;
d.
standar
penilaian pembelajaran;
e.
standar
dosen dan tenaga kependidikan;
f.
standar
sarana dan prasarana pembelajaran;
g.
standar
pengelolaan pembelajaran; dan
h.
standar
pembiayaan pembelajaran.
PASAL 18
Beban
belajar mahasiswa program diploma dua, program diploma tiga, program diploma
empat/sarjana terapan, dan program sarjana yang berprestasi akademik tinggi,
setelah 2 (dua) semester pada tahun akademik yang pertama dapat mengambil
maksimum 24 (dua puluh empat) sks per semester pada semester berikut.
Mahasiswa
program magister, program magister terapan, atau program yang setara yang
berprestasi akademik tinggi dapat melanjutkan ke program doktor atau program
doktor terapan, setelah paling sedikit 2 (dua) semester mengikuti program
magister atau program magister terapan, tanpa harus lulus terlebih dahulu dari
program magister atau program magister terapan tersebut.
Mahasiswa
program magister atau program magister terapan yang melanjutkan ke program
doktor atau program doktor terapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
menyelesaikan program magister atau program magister terapan sebelum
menyelesaikan program doktor.
Mahasiswa berprestasi akademik tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan mahasiswa yang mempunyai indeks prestasi semester (IPS)
lebih besar dari 3,00 (tiga koma nol nol) dan memenuhi etika akademik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar