TEORI PERILAKU BUDAYA ORGANISASI
BOOK REPORT
Diajukan untuk memenuhi tugas mandiri mata kuliah Teori, Perilaku dan Budaya Organisasi
Dosen Pengampu : Dr. Irawan, S.Pd,. M.Hum.
![]() | |||||
![]() | ![]() | ||||
Disusun oleh :
Iwan Sopwandin (1142010039)
Iwan Sopwandin (1142010039)
JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016
2016
IDENTITAS BUKU
Judul Buku : Kinerja Staf dan Organisasi
Karya : Prof. Dr. Sudarwan Danim
Penerbit :CV Pustaka Setia
1 Mei 2008 Bandung
Telp./Fax. :(022) 5210588 / (002) 5224105
ISBN :979-730-836-7
Cetakan Terakhir : Mei 2008
Dicetak Oleh :Pustaka Setia
Tebal Buku : 164 Halaman
Setting, Layout, Montase : Tim Redaksi Pustaka Setia
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan karunia dan kasih sayangnya kepada kita semua. Salawat teriring salam semoga tercurah limpahkan kepada junjungan kita semua, yakni nabi Muhammad SAW.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan book report ini tidak terlepas dari bantuan dan dorongan dari pihak tertentu, khususnya dosen pengampu Mata kuliah Teori Perilaku Budaya Organisasi, Bapak Dr. Irawan, M.Hum dan Bapak Ahmad Masrul Anwar, M.Ag. Maka dari itu kami haturkan banyak terimakasih.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan ini banyak kekurangan dan tentu belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Dan besar saya harapkan saran dari semua pihak untuk memperbaiki penulisan ini.
Bandung, 01 Desember 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
IDENTITAS BUKU
KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar belakang................................................................................1
B. Tujuan............................................................................................1
BAB I PEMBAHASAN
A. Visi dan Misi...........................................................................1
B. Memperjelas arah....................................................................1
C. Statement Visi........................................................................2
D. Visi sebagai Inovasi...............................................................2
E. Unsur – unsur visi..........................................................................3
BAB II FUNGSI DAN TAKSONOMI.....................................4
A. Fungsi Pelatihan......................................................................4
B. Tipe – tipe manusia.................................................................4
C. Taksonomi pelatihan.............................................................4
D. Kesadaran untuk berubah.......................................................5
BAB III DEFINISI MAKNA....................................................6
A. Manusia bukan bejana...........................................................6
B. Definisi pelatihan..................................................................6
C. Melatih adalah mengasuh......................................................7
BAB IV LANGKAH LANGKAH PELATIHAN....................9
A. Mentransfer pengalaman.......................................................9
B. Langkah – langkah pelatihan................................................10
BAB V PELATIHAN BERBASIS KINERJA........................11
A. Rasional kerja.......................................................................11
B. Pelatihan berbasis kinerja.....................................................11
C. Kaidah pelatihan berbasis kinerja.........................................12
D. Peluang pelatihan..................................................................13
BAB VI PELATIHAN SEBAGAI ACTOR............................14
A. Dari potensi menjadi actual...................................................14
B. Antara substansi dan cara......................................................14
C. Tampil atraktif.......................................................................14
BAB VII PELATIH YANG IDEAL.........................................17
A. Antara teori dan praktik.........................................................17
B. Etos pelatih yang dikehendaki...............................................17
C. Multiketerampilan pelatih.....................................................18
BAB VIII KOMPETENSI PELATIH.....................................20
A. Kejutan budaya......................................................................20
B. Kompetensi dasar pelatih......................................................21
C. Subkompetensi dasar.............................................................21
D. Multistandar pelatihan...........................................................22
BAB IX MANAJEMEN KELAS PELATIHAN.....................25
A. Beberapa pertanyaan esensial................................................25
B. Dari otoriter ke demokrasi.....................................................26
C. Manajemen kelas pelatihan...................................................27
D. Pergeseran paradigm menejemen kelas pelatihan.................29
E. Perubahan konsep manajemen kelas.....................................29
F. Sumberdaya kelas..................................................................30
G. Manajemen kelas dan prilaku peserta...................................30
BAB X ORGANISASI PELATIHAN....................................32
A. Organisasi pembelajaran.......................................................32
B. Pergeseran paradigm.............................................................32
C. Reformasi kelembagaan........................................................33
BAB XI REORIENTASI MUTU PELATIHAN.....................35
A. Rekulturasi organisasi............................................................35
B. Orientasi perubahan...............................................................36
C. Prinsip kaizen........................................................................38
BAB XII STRATEGI OPTIMALISASI PELATIHAN.........39
A. Penyakit detik – detik terakhir...............................................39
B. Pelatihansebagai manusia terpilih.........................................39
C. Strategi optimalisasi..............................................................40
LAMPIRAN....................................................................... v
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sebuah organisasi mempunyai budaya masing-masing. Ini menjadi salah satu pembeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Budaya sebuah organisasi ada yang sesuai dengan anggota atau karyawan baru, ada juga yang tidak sesuai sehingga seorang anggota baru atau karyawan yang tidak sesuai dengan budaya organisasi tersebut harus dapat menyesuaikan kalau dia ingin bertahan di organisasi tersebut.
Budaya organisasi ini dapat membuat suatu organisasi menjadi terkenal dan bertahan lama. Yang jadi masalah tidak semua budaya organisasi dapat menjadi pendukung organisasi itu. Ada budaya organisasi yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Maksudnya tidak dapat menyocokkan diri dengan lingkungannya, dan lebih ditakutkan lagi organisasi itu tidak mau menyesuaikan budaya nya dengan perkembangan zaman karena dia merasa paling benar.
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan book report ini adalah untuk mempermudah pembaca memahami isi buku ……………………… karangan ……………….. Agar lebih cepat menemukan isi pokok dan selanjutnya mempraktekannya pada ranah organisasi yang sesungguhnya yang bermanfaat baik bagi dirinya ataupun bagi semua kalangan.
BAB I
VISI DAN MISI
A. Posisi Visi
Apa visi Anda? Apa visi organisasi Anda? Apakah sebuah organisasi, termasuk lembaga pelatihan memiliki visi yang jelas? Banyak sekali pertanyaan yang muncul seputar visi melingkari kehidupan kita selaku manusia organisasi. Seorang calon pimpinan pun sering dituntut menyampaikan visinya di depan public atau pada saat menjalani uji kelayakan. Bahkan, kata visi pun sering menempel pada kegiatan berskala kecil, misalnya dalam kerangka pelatihan singkat.
Manusia organisasional, terutama pimpinan, harus mempunyai visi yang jelas. Visi ini akan memberi pewarnaan pada perilaku semua komunitas yang di dalamnya. Tanpa kejelasan visi, komunitas organisasi akan kehilangan arah.
Penggunaan kata visi, memang sering salah kaprah. Di sebuah lembaga besar,katakanlah sebuah departemen pemerintah, sering ditemukan banyak visi. Di tingkat mentri ada visi. Di tingkat jenderal ada visi. Bahkan, lebih operasional yang dipentingkan pada unit di bawahnya adalah program dan tindakan untuk mencapai tujuan organisaai secara produktif.
Memang, suka atau tidak, kita selalu berhadapan dengan kekinian dan masa depan. Kita tidak pernah hidup pada masa lampau, meskipun fenomena yang kita alami sebelumnya kerap membekas, bersisa, dan dampaknya masih dirasakan sampai sekarang.
Orang - orang yang pesimis akan gamang menghadapi masa depan oleh mereka dipandang sebagai sebuah ngarai super dalam yang gelap gulita. Kalaupun masih ada jarak pandang, jaraknya dipersepsi sebagai teramat pendek. Kegamangan itu makin menjadi – jadi manakala orang giris memandang kegelapan.
Misalnya, berapa orang tua menampakkan wajah sedih ketika ujian alhir anaknya tidak memuaskan, padahal dia terobsesi agar anaknya dapat melanjutkan studi ke sekolah favorit. Seakan-akan dengan nilai yang kecil itu, tamatlah riwayat masa depan anaknya. Ranking peringkat yang meskipun dapat menjadi predictor, nilai yang dicapai oleh anak di kelas itu tidaklah selalu identik dengan prestasi hidup mereka kelak. Meskipun harus pula diakui bahwa tidak mungkin seorang yang idiot akan menjadi seorang manajer yang sukses.
B. Memperjelas Arah
Apa yang dilihat, disaksikan, dan dirasakan sekarang, tidak selalu identik dengan apa yang terjadi pada masa datang. Ada lembaga sekolah yang pada saat berdiri berada dalam kondisi tertatih-tatih, seperti tidak sanggup membayar gaji guru secara wajar dan ruang kelas masih berstatus sewa, bahkan menumpang. Lembaga ini, akhirnya berkembang, perlahan tapi pasti.i Ada pula lembaga sekolah yang dibangun dengan serba wah, akhirnya bangkrut.
Pada taraf pemikiran paling elementer, esensi dan urgensi visi itu menempel pada lini kehidupan, apakah lini individu, kelompok seminar, atau manusia organisasi. Esensi dan urgensinya juga menempel pada organisasi atau lembaga, termasuk lembaga pendidikan. Karena itu, dunia usaha, sekolah, lembaga, pendidikan dan pelatihan (lemdiklat), lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan sejenisnya memiliki apa yang disebut visi. Sejatinya, bukan pranata atau organisasi itu yang memiliki visi, melainkan orang-orang yang ada di dalamnya.
Visi harus mewarnai perilaku semua orang dalam organisasi. Jika sebuah organisasi memiliki visi "menjadi yang terbaik", semua usur manusianya, mulai pimpinan sampai dengan staf tata usaha harus mampu menjadi yang terbaik, tampil terbaik, memberikan layanan terbaik, menghasilkan produk terbaik, dan sebagainya. Instrumen yang digunakan pun harus yang terbaik dibandingkan dengan yang lain.
C. Statemen visi
Dilihat dari perspektif waktu, visi pada intinya menyoal tentang harapan masa depan, dengan rentang waktu (time frame) tertentu. Bisa dalam satuan tahun, bisa juga tidak dibatasi alias permanen. McLaughlin (1995) mendefinisikan visi sebagai berikut: "Vision: The long term future desired state of an organization, usually expressed in a 7 - 20 year time frame. Often included in the vision statement are the areas that organization needs to care about in order to succed. The vision should inspire and motivate. "Definisi ini menempatkan istilah visi dalam konteks keorganisasian.
D. Visi sebagai inovasi
Visi merupakan atribut kunci kepemimpinan, termasuk kepemimpinan organisasi. Pada organisasi pelatihan yang dikelola secara profesional, statemen tentang visi harus ditetapkan oleh pimpinan lemdiklat bersama pelatih, widyaiswara, dan pihak-pihak lain yang kompeten, sebab lembaga ini tidak hanya entitas pelatihan, tetapi ia merupakan sebuah komunitas yang menempati posisi sentral.
Di lingkungan lemdiklat, visi ditetapkan oleh pimpinan lembaga itu, meskipun proses penetapannya pada umumnya dilakukan secara bersama oleh pelatih yang ada atau satuan tugas yang dibentuk untuk itu. Penetapan visi lemdiklat sangat esensial, karena lembaga ini bukanlah institusi pelatihan semata, melainkan sebagai bagian integral dari entitas masyarakat tempat dia berada.
E. Unsur - unsur visi
Visi pada intinya adalah statemen paling fundamental (fundamental statement) mengenai nilai-nilai, aspirasi aspirasi, dan tujuan-tujuan lemdiklat. Hal tersebut karena visi merupakan kunci keberhasilan sebuah lembaga yang dikelola secara profesional, termasuk lemdiklat. Menurut Bound et.al. (1994) perumusan visi itu "simple and compelling, certainly challenging. practicable, and realistik. Visi yang baik dirumuskan secara sederhana dan menggambarkan kepastian, dapat dilaksanakan, dan realistik.
Kebanyakan visi organisasi terkesan, bahkan memang demikian, sangat ambisius. Visi dirumuskan begitu panjang sehingga nyaris tidak seorang pun, mulai pimpinan hingga staf, yang "hapal" visi lembaganya. ldealnya visi organisi di secara singkat, benar-benar substansial, menginspirasi, dan menunjukkan obsesi ke depan dari sumber daya manusia organisasi itu.
Visi terdiri dari tiga unsur utama, yaitu values, mission, dan goals (Quigley, 1993) Berbeda urutan, namun sama unsurnya dengan pendapat Quigley, Gaffar (1995) berpendapat bahwa visi terdiri dari tiga unsur yaitu :
1. nilai,
2. tujuan,
3. misi.
BAB II
FUNGSI DAN TAKSONOMI
A. Fungsi pelatihan
Apa fungsi esensial pelatihan? Pelatihan memiliki nilai-nilai dasar yang sangat esensial dalam rangka peningkatan kompetensi dan keterampilan staf. Beberapa studi ilmiah mendukung argumen ini. Farmer (1987) berdasarkan hasil studinya menyimpulkan bahwa pelatihan dan pengembangan sumber daya insani berfungsi mengatasi konflik organisasi. Hasil penelitian Punakelar (1985) menyimpulkan bahwa pelatihan dan pembekalan keterampilan sosial karyawan bermanfaat positif untuk memperbaiki status dan mengatasi krisis yang dialami oleh mereka.
Di lembaga sekolah, hasil penelitian Stalling (1989) menyimpulkan bahwa pelatih cenderung dapat dengan mudah mengubah perilakunya dan secara terus-menerus menggunakan ide-ide baru pada kondisi berikut:
a. mereka menyadari adanya kebutuhan untuk perbaikan melalui analisis mereka sendiri terhadap hasil observasinya,
b. mereka membuat komitmen tertulis untuk mencoba ide-ide baru di kelas pada hari-hari mendatang.
B. Tipe tipe Manusia
Logika itu seringkali menempel pada jabatan. Orang-orang yang ambisius pada jabatan, makin lama biasanya makin memperkuat diri. Setiap usaha atau tindakan yang tidak relevan dengan keamanan posisinya dianggap sebagai pembangkang. Dia tidak dapat membedakan mana orang-orang yang mandiri atau otonom dan mana pula yang sebatas menjadi pengikut yang baik. Dia tidak pula memberi toleransi apalagi menerima realitas bahwa makin tinggi kemandirian staf, makin rendah kepatuhannya secara membabi buta.
Dampaknya, adakalanya orang-orang yang telah mencapai titik puncak sulit sekali "menurunkannya" dari singgasana. Bersamaan dengan itu, kemampuan fisik dan psikologis seseorang makin menurun sehingga menimbulkan bencana bagi organisasi akibat kader baru yang tidak siap.
C. Taksonomi Pelatihan
Secara taksonomis, kegiatan pelatihan dan pengembangan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu metode-metode praktis (on-the-job-training and development) dan teknik-teknik presentasi atau metode - metode simulasi (off the job trainning and development. Metode- metode praktis meliputi:
a. pelatihan instruksi pekerjaan
b. magang,
c. internsip,
d. asistensip atau penugasan sementara,
e. rotasi jabatan,
f. perencanaan karir pribadi,
g. pelatihan eksekutif,
h. asisten kngarahan, konseling, dan mentoring),dan lain-lain.
D. Kesadaran untuk berubah
Kesadaran magis merupakan sebuah tatanan perilaku di mana orang mengadaptasi atau menyesuaikan diri secara fatalistik dengan sistem yang ada. Misalnya, begitu mudah orang ingin berdemonstrasi tanpa jelas alasan dan tujuannya, hanya karena dibayar beberapa ribu rupiah dan disediakan alat angkutan. Contoh lain dari kesadaran magis adalah "saya berbuat begitu, karena pendahulu saya juga begitu. Atau "saya sadar seperti ini adalah tindakan terbaik, tetapi hal itu tidak saya lakukan karena tidak ada yang mau memulai.
Kesadaran emosional adalah kesadaran yang beruumber dari kata hati terdalam, imbang kah dampak sosial dan psikologis ketika tindakan itu dilakukan atau tidak dilakukan. Pesta pora merupakan lakukan tindakan yang sah bagi orang yang berkemampuan. Akan tetapi, tindakan itu dapat saja mengganggu masyarakat umum, ketika krisis ekonomi tengah melanda sebagi besar masyarakat. Kesadaran spiritual adalah sebuah kesadaran yang dibangun atas dasar kemampuan inteligonsi dan emosi, serta spiritual itu saadiri sehingga ditemukan kesejatian diri sebagai makhluk Tuhan yang cinta akan fitrah. Jenis jenis kesadaran ini berimplikasi pada perilaku baik sebagai pribadi, makhluk social, maupun pekerja.
BAB III
DEFINISI MAKNA
A. Manusia bukan bejana
Sejak zaman Socrates lebih dari 200 tahun lalu, pelatihan telah dipahami sebagai perilaku membuka potensi orang untuk memaksimalkan kinerja mereka sendiri. Pelatihan dimaksudkan untuk mengolah potensi menjadi energi aktual, mengubah potensi yang laten menjadi terminafes dalam perilaku keria sehari-hari. Telah terjadi pula pergeseran nilai dari menyajikan materi pelatihan ke melatih orang untuk dapat melatih dirinya sendiri. Pelatih membantu peserta pelatihan untuk belajar dan bukan untuk mengajari mereka. Konsep ini didasari atas pemahaman psikologis tentang model manusia yang lebih optimistik dibandingkan pandangan kaum behavioris kuno, yang menyatakan bahwa kita ini serupa dengan bejana kosong yang ke dalamnya dapat dituangkan segala sesuatu. Pemikiran kekinian mengatakan bahwa manusia lebih mirip biji pohon, yang di dalamnya telah mengandung segala potensi untuk menjadi pohon sejenis yang sangat indah. Manusia perlu menu dan untuk berkembang, tetapi potensi untuk itu telah ada dalam diri mereka.
Jika kita menerima model ini, cara yang kita pelajari, yang lebih penting lagi cara kita ajarkan, instruksikan, atau latihkan selama ini harus dipertanyakan. Praktiknya, kebiasaan lama sukar dihilangkan dan metode- metode kuno tetap bertahan walaupun kebanyakan dari kita telah mengetahui keterbatasan – keterbatasannya.
Bukti universal keberhasilan metode-metode baru sulit diperlihatkan karena hanya sedikit yang bisa memahami dan menggunakan metode metode itu sepenuhnya. Di samping itu, banyak orang yang tidak bersedia untuk membuang cara-cara lama yang sudah dirasa "menguntungkan" meskipun secara publik dan kelembagaan dipandang merugikan, apalagi jelas dibutuhkan waktu cukup lama untuk bisa memetik ganjaran-ganjaran dari cara-cara yang baru. Sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan, partisipasi pekerja, delegasi, pertanggungjawaban dan pelatihan telah ditemukan cara untuk masuk ke dalam bahasa bisnis
B. Definisi pelatihan
Manusia memiliki multipotensi. Potensi paling universal yang dimilikioleh manusia adalah mengubah diri dari keadaan tertentu ke keadaan lain. Perubahan yang dimaksudkan di sini adalah progresif, bukan regresif. Pelatihan dan lebih khusus lagi pelatihan berbasis kinerja (PBK) merupakan bagian integral dari usaha memunculkan perubahan atau setidaknya menyesuaikan kemampuan dan keterampilan peserta pelatihan dengan kebutuhan dan tuntutan kekinian.
Pelatihan berfokus pada kemungkinan dan peluang perbaikan kinerja di masa depan, bukan berbasis pada kesalahan masa lalu. Kesalahan- kesalahaa masa lampau dari sebuah organisasi, sekelompok orang, atau seorang staf hanya faktor picu usaha perbaikan, bukan "kambing hitam", Manusia organisasional harus memosisikan kesalahan sebagai faktor pendorong untuk perbaikan, bukan untuk menjadikannya sebagai sumber tumpuan semua kekeliruan, sehingga dengan kesalahan masa lampau itu, prestasi kekinian yang rendah dianggap sebagai warisan sejarah belaka.
Disekitar kita, istilah pelatihan seringdisamakan dengan pengembangan. Padahal, istilah pelatihan dan pengembangan adakalanya berbeda makna. Pembedaan tersebut didasari atas pemikiran bahwa pelalihan dimaksudkan untuk membantu meningkatkan kemampuan pegawai dalam melaksanakan tugas sekarang, sedangkan pengembangan lebih berorientasi pada peningkatan produktivitas para pekerja di masa depan.
Secara leksika, kata kerja melatih (to coach) diberi makna sebagai mengajar" memberi tahu, memberikan petunjuk kepada, atau memberi keterangan berbasis pada fakta-fakta. Definisi ini masih kurang memadai karena hal hal itu dapat dilakukan dalam banyak cara lain, yang di antaranya sama sekali tidak berkaitan dengan cara bagaimana hal-hal itu dikerjakan dan apa yang dikerjakan.
C. Melatih Adalah Mengasuh
Kata pelatihan sering dikonotasikan sebagai tindakan praktis dalam pembimbingan atau pengasuhan. Juga, sering diberi makna sebagai mengasuh atau membimbing, dan kata-kata ini pun kerap muncul dalam bahasa bisnis. Kini, kata"melatih" telah munculdibanyak tempat, konteks, dan situasi. Kata pelatihan yang sekarang sangat populer itu berasal dari Mitologi Yunani yang mengisahkan bahwa Odyysseus, ketika berangkat ke Troya, memercayakan penjagaan rumahnya dan pendidikan Telemachus kepada temannya yang bernama Mentor.
Walaupun ada beraneka ragam definisi pembimbingan atau pengasuhan, termasuk kata-kata lain untuk (pelatihan, konseling, kepenasihatan, persponsoran, dan lain-lain), semua ahli dan komunikator tampak setuju bahwa pembimbingan atau pengasuhan berasal usul dari konsep magang (internship), ketika orang yang lebih tua atau lebih berpengalaman, mewariskan pengetahuannya tentang bagaimana pekerjaannya dilakukan dan bagaimana beroperasi dalam dunia komersial.
Meskipun banyak istilah yang berkonotasi sama, pelatihan biasanya secara langsung dimaksudkan untuk melakukan perbaikan kinerja dan pengembangan keterampilan-keterampilan melalui suatu bentuk tutoring atau instruksi. Pembimbingan atau pengasuhan selalu merupakan satu langkah yang membuka dan memerhatikan penambahan keterampilan-keterampilan yang berjangka waktu lebih lama dalam karier yang berkembang melalui bentuk kepenasihatan atau konseling.
Untuk mendapatkan yang terbaik dari seseorang, kita harus percaya bahwa yang terbaik ada di dalam diri orang itu. Akan tetapi, bagaimana kita mengetahuinya, seberapa banyak yang ada di sana, dan bagaimana kita mengeluarkannya? Kita harus percaya bahwa potensi itu ada di sana, bukan karena suatu bukti ilmiah, tetapi semata-mata karena kita yakin bahwa hal itu benar-benar ada.
Kapasitas itu ada di sana, krisis adalah katalisnya. Ketika kemampuan dan keterampilan sekelompok pekerja mengalami krisis, perlu ada katalisator untuk mengembangkannya, yaitu pelatihan. Akan tetapi apakah krisis adalah satu-satunya katalis? Beberapa potensi dapat dikembangkan melalui pelatihan dan kinerja dapat dipertahankan, meskipun barangkali tidak pada tingkat yang melebihi kemampuanmanusia (superhuman), pasti potensi tersebut bera atas tingkat yang jauh lebih tinggi daripada yang biasanya kita terima. Potensi-potensi dimaksud dapat berupa:
1. Potensi
2. Potensi intelektual,
3. Potensi kesadaran dan kecerdasan emosional
4. Potensi pengembangan diri, dan lain-lain.
BAB IV
LANGKAH LANGKAH PELATIHAN
A. Mentransfer Pengalaman
Pelatih bukan lagi sebatas orang yang melakukan transfer pengalaman laksana menuangkan air ke dalam botol atau ember. Di ruang belajar ruang-ruang pelatihan, atau laboratorium, pelatih harus mampu tampil sebagai pemimpin atau manajer. Hanya pelatih yang mampu menjadi manajerlah yang dapat menciptakan kondisi pelatihan secara baik. Demikian juga, hanya pelatih yang mempunyai sifat-sifat kepemimpinanlah yang mampu melakukan fungsi penggerakan kepada peserta pelatihan baik dalam kerangka kegiatan pertemuan kelas, mengerjakan tugas-tugas teoretis, menyusun rencana aksi maupun melakukan praktik keterampilan tertentu.
Perlu dicermati pula bahwa revolusi teknologi informasi (information tecknology revolution) dan restrukturisasi kelembagaan telah mendorong bentuk-bentuk baru masyarakat dan jaringan kerja di antara mereka, termasuk jaringan yang muncul secara kebetulan atau sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Revolusi di bidang ini ditandai dengan globalisasi aktivitas-aktivitas ekonomi yang menuntut keputusan secara strategis, melalui hubungan secara berjaringan antarorganisasi. Fleksibilitas pekerjaan, dan individualisasi di sektor perburuhan pun tidak dapat dihindari.
B. Langkah Langkah Pelatihan
Untuk memenuhi kebituhan pelanggan pelatihan dan dinamika kemajuan ilmu, pengetahuan, teknologi, dan kecenderungan kehidupan kemasyarakatan seperti tergambar sekilas di atas, alur kerja pelatihan pun harus dikemas sedemikian rupa. Langkah-langkah umum pelatihan disajikan berikut ini :
1. Asesmen kebutuhan
2. Penetapan tujuan
3. Penetapan kriteria keberhasilan
4. Pemprograman pelatihan
5. Rekruitmen calon peserta
6. Pelaksanaan pelatihan
7. Perumusan rencana tindak lanjut
8. Evaluasi untuk menentukan status keberhasilan peserta
9. Penempatan atau penugasan kembali
10. Monitoring dan tindak lanjut
11. Pembinaan lebih lanjut.
BAB V
PELATIHAN BERBASIS KINERJA
A. Rasional Pelatihan
Pelaksanaan pelatihan dengan titik tekan pada perbaikan kinerja di dalam buku ini disebut dengan PBK. PBK sesekali dapat diberi makna sama dengan pelatihan pada umumnya karena aktivitas pelatihan bermuara ke sini. Namun demikian, pada PBK, titik tekan utamanya pada pemerolehan kompetensi dan keterampilan, bukan pada pelatihannya.
Pada pelatihan umum, sering orang-orang berprinsip: pokoknya laksanakan pelatihan, sudah dilakukan pelatihan, yang penting ikut pelatihan, habiskan dana untuk pelatihan, dan sebagainya. Pada PBK, titik tekannya adalah kemumpunian tertentu yang diperoleh melalui pelatihan tertentu. Dampak ikutan yang dikehendaki adalah optimalisasi Pelatih kinerja yang dapat ditampilkan oleh seseorang pascapelatihan.
PBK dapat memberikan hasil yang besar karena adanya relasi yang mendukung antara pelatih dan peserta PBK (orang yang dilatih untuk memperbaiki kinerja), dan antara cara-cara dan gaya komunikasi yang digunakan. Peserta PBK sesungguhnya memperoleh fakta-fakta dan pengetahuan atau keterampilan-keterampilan baru, bukan dari pelatih, tetapi dari dalam dirinya sendiri, yang dirangsang oleh pelatih.
B. Pelatihan Berbasis Kinerja
Sebuah sistem yang mengaitkan banyak unsur dipastikan memerlukan proses untuk menghasilkan sesuatu. Ibarat penulis yang ingin mempublikasikan hasil karya tulisnya, ia akan melibatkan unsur ide dasar, pencarian referensi, perumusan sistematika materi, penulisan materi, pendalaman materi, evaluasi sejawat atau tim pakar, finalisasi, pengiriman naskah, penelaahan dewan redaksi, penilaian akhir mengenai kelayakan atau ketidaklayakan terbit, pencetakan, pemasaran, dan sebagainya.
Demikian juga halnya pelatihan. Pelatihan merupakan sebuah proses yang melibatkan banyak unsur. Proses pelatihan minimal melibatkan unsur-unsur, seperti :
1. pelatih (trainer)
2. peserta pelatihan (trainee),
3. materi pelatihan (training material),
4. media pelatihan (traning media),
5. prosedur dan metode pelatihan (procedure and method of training)
6. pengelola program (program conductor).
Keenam dimensi tersebut di atas bersinergi membentuk sebuah sistem sehingga melahirkan sebuah proses pelatihan yang utuh, mulai perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, penentuan predikat kelulusan, hingga tindak lanjut. Di dalamnya juga terkandung subsistem masukan, proses, luaran, dan dampak dari kegiatan.
Pelatih adalah sumber daya utama yang menentukan keberhasilan sebuah pelatihan. Mereka harus mampu tampil prima dengan kinerja yang sangat tinggi. Pelatih yang berkinerja tinggi adalah orang-orang yang menjadikan kegiatan pelatihan sebagai suatu proses mengubah kinerja diri di dalam bekerja menuju kondisi yang lebih baik, sebagai bagian dari kehidupan dan kebutuhan hidupnya. Mereka dapat memperoleh pelatihan dari banyak hal, seperti dari pengalaman keberhasilan atau kegagalan orang lain, pengalaman diri sendiri yang bersifat sukses atau yang bersifat gagal. Juga, dari buku-buku, jurnal, majalah, koran, hasilhasil penelitian, hasil observasi, hingga perilaku kerja yang bersifat spontan.
Pada sisi lain, kelima kompetensi pelatih seperti telah disebutkan sebelumnya, perlu ditunjang oleh nilai-nilai dasar pelatihan. Nilai-nilai dasar tersebut dikembangkan dari PBK, bahkan jika mungkin disebut Pelatihan Berbasis Kinerja, mengingat "kinerja" (performance) merupakan competency ini action. Di dalam buku ini, Pelatihan Berbasis Kinerja merupakan akronim dari pengamatan-perbuatan, efektif langsung, akseptabel, terfokus, intensif humanis, akomodatif nilai, berjenjang, elaboratif relevan, berkelanjutan, akuntabel, sistematik, impersonal, sistemik, kondusif, integratif empati realistic jaminan-mutu dan akurasi. Jadi:
P = Pengamatan perbuatan B = Berjenjang K = Kondusif
E = Efektif E = Elaboratif I = Integrati
L = Langsung R = Relevan N = Nirkomersialisasi
A = Akseptabel B = Berkelanjutan E = Empati
T = Terfokus A = Akseptabel R = Realistik
I = Intesif S = Sistematik J = .Jaminan mutu
H = Humanis I = Impersonal A = Akurasi
A = Akomodasi S = Sistemik
N = Nilai-nilai
C. Kaidah Pelatihan Berbasis Kinerja
Program pelatihan harus dikemas sedemikian rupa, lebih-lebih untuk PBK. Banyak kaidah yang ditawarkan oleh para pengarang atau praktisi untuk pelatihan yang efektif. Tanpa mereduksi pemikiran konsepsional yang ada, dalam buku ini pelaksanaan PBK digagas dengan kaidah sebagai berikut:
1. Sistemik dan sistematik
2. Unggul mutu
3. Dinamis
4. Akomodatif dan akuntabel
5. Relevan dan realistic
6. Waktu
7. Akseptabilitas dan akurasi
8. Nilai-nilai
D. Peluang Pelatihan
Bila kita ingin berhasil dalam mengikuti pelatihan, mengambil pandangan optimis yang jauh lebih besar daripada biasanya atas kemampuan "tertidur" (dormant capability) yang ada pada diri orang-orang, bahkan semua orang. Berpura-pura optimis tidaklah cukup. Karena keyakinan kita yang sebenarnya akan diketahui orang lain dengan berbagai cara halus yang tidak kita sadari. Kapan dan di mana kita menggunakan pelatihan, dan untuk apa? Ada banyak peluang yang jelas untuk menerapkan pelatihan di tempat kerja, seperti:
1. Pelatihan motivasional
2. Pelatihan peningkatan kepercayaan diri;
3. Pelatihan merangsang kecerdasan emosional,
4. Pelatihan menumbuhkan kecerdasan social
5. Pelatihan prosedur dan strategi pendelegasian tugas
6. Pelatihan pemecahan masalah, dari yang sederhana hingga yang kompleks;
7. Pelatihan hubungan relasional;
8. Pelatihan pembentukan tim kerja;
9. Pelatihan sistem penilaian;
10. Pelatihan perbaikan kinerja dan tugas pelatihan perencanaan;
11. Pelatihan penyusunan program;
12. Pelatihan penganggaran
13. Pelatihan pengembangan keterampilan khusus bagi staf, dan
14. Pelatihan kerja sama tim.
Jenis-jenis pelatihan itu tidak akan ada habisnya dan peluang-peluang tersebut dapat ditangani dengan menggunakan pendekatan yang sangat terstruktur, yakni sesi sesi pelatihan yang formal. Pelatih bisa pula memilih untuk mempertahankan suatu tingkat struktur tertentu dengan situasi yang kurang formal secara superfisial. Lebih dari itu, yang jauh lebih pervasive daripada jenis-jenis pelatihan tersebut dan barangkali lebih penting, adalah kesadaran terus-menerus dan pemakaian prinsip-prinsip pelatihan dalam interaksi yang terjadi antara manajer dan staf setiap harinya.
Bagaimanapun juga, melatih diri sendiri adalah cara yang aman untuk mempraktikkan dan mengembangkan keterampilan melatih, yang kemudian dapat diterapkan pada orang lain dengan penuh keyakinan. Didunia pembelajaran pun telah diakui bahwa usaha menumbuhkan diri secara individual memberi sumbangan besar bagi terwujudnya pribadi dan komunitas pembelajaran.
BAB VI
PELATIHAN SEBAGAI AKTOR
A. Dari Potensi Menjadi Aktual
Kita semua adalah aktor alias pelaku, sepanjang masih bisa bertindak atau berbuat. Pelatih adalah pelaku (actor) sehingga dia harus mampu menampilkan diri selayaknya seorang aktor. Memang, secara bahasa, kata "aktor" sangat lengket dengan sebutan seniman atau "aktris" untuk sebutan seorang seniwati. Pelatih pun harus mampu tampil layaknya seorang seniman atau seniwai, karena dia tidak hanya akan menjadi tuntunan, melainkan juga tontonan di pentas pelatihan. Pelatih yang efektif adalah seseorang profesional di bidang kepelatihan, mampu tampil secara atraktif, selayaknya seorang aktor atau aktris yang dapat menghibur peserta di atas pentas pelatihan.
Pelaku, aktor sungguhan, atau pelatih akan mudah memengaruhi atau mengefektifkan perlakuannya kepada dan untuk orang lain, jika memiliki kelebihan. Orang-orang yang berkelebihan sulit ditakar atau dijejaki oleh siapa pun. Dia adalah orang yang berwibawa dan sangat kuat pengaruhnya pada komunitas tertentu atau lingkungannya. Inilah contohnya.
a. Pesilat yang selalu memenangkan pertandingan akan disegani lawan.
b. Dosen dan guru yang berwawasan luas dan mendalam disertai dengan keterampilan metodologis dalam menyampaikan materi akan disegani oleh mahasiswa dan siswanya.
c. Pelatih yang berwawasan luas, terampil, dan memiliki kiat yang tinggi akan dihormati dan disegani oleh peserta pelatihan.
d. Imam masjid sejati akan disegani oleh makmum dan masyarakat di sekitarnya.
e. Pemuka masyarakat disegani oleh komunitasnya.
B. Antara Substansi Dan Cara
Dalam makna normal, setiap tindakan manusia merupakan perilaku bertujuan. Jadi, manusia merupakan makhluk dengan perilaku bertujuan Upaya manusia mencapai tujuan itu sangat ditentukan oleh posisi atau statusnya.
C. Tampil Atraktif
Tidak ada pekerjaan yang akan berjalan efektif, kecuali bila dipandu oleh kaidah kerja tertentu. Bahasa memiliki kaidah. Pelatihan memiliki kaidah. Kaidah itu juga diperlukan pada aneka pekerjaan lain.
Kaidah pelatihan merupakan rambu-rambu kerja yang dipakai untuk mentransmisikan pesan atau mentransfer keterampilan tertentu kepada peserta pelatihan Tepat atau tidaknya kaidah yang dipakai dalam pelatihan diukur dari proses dan capaiannya, bukan dari seperti apa yang disecara rijid. Pelatih melakukan transformasi ilmu dan keterampilan, bukan memaksakan kehendak, karena penerimaan peserta pelatihan atas bekal yang disajikan sangat bergantung pada nilai-nilai yang oleh mereka dipandang bermaslahat atau tidak bagi kepentingan pribadi dan lembaganya.
Beberapa catatan di atas perlu mendapatkan perhatian serius dari pelatih. Penguasaan kompetensi atau keterampilan saja, tidak cukup bagi pelatih. Pelatih adalah seorang aktor. Dia harus mumpuni pada bidang banyak hal, seperti :
1. penguasaan substansi materi utama,
2. penguasaan substansi materi pelengkap,
3. penguasaan metodologi pelatihan,
4. kemampuan menggunakan media dan teknologi pelatihan,
5. kemampuan mengelola kelas atau situasi pelatihan,
6. kemampuan melakukan hubungan antarorang,
7. semangat egaliter, dan lain-lain.
BAB VII
PELATIH YANG IDEAL
A. Antara Teori Dan Praktik
Banyak orang yang mengatakan bahwa teori tidak sama dengan praktik. Teori dan praktik memang tidak sama, tetapi apa jadinya suatu pekerjaan yang "unik" jika dilakukan tanpa teori. Meskipun sesuatu yang secara teoretis dipandang baik, tidaklah sebaik pelaksanaannya, pemahaman tentang dasar-dasar teoritis atas seperangkat atau serial tindakan keterampilan praktis yang akan dilakukan, idealnya bukanlah prakondisi yang harus dimiliki oleh seseorang, melainkan mengintegral dengannya.
Inilah yang harus dimiliki oleh seorang atau sekelompok pelatih Pelatih yang memiliki pengetahuan teoretis dan keahlian akademik sangat esensial bagi sebuah organisasi, baik organisasi komersial maupun social Pelatih yang saya maksudkan di sini dipersepsi sebagai orang yang mengemban tugas pokok dan fungsi khusus, semisal seorang widyaiswara penatar, instruktur, pamong belajar, teknisi, dan sejenisnya pada sebuah organisasi atau institusi akademik lain.
B. Etos Pelatih Yang Dikehendaki
Pengetahuan dan keahlian diperlukan oleh pelatih sebagai acuan dasar bertindak dan menjadi landasan ilmiah dalam mengembangkan keterampilan, karena setiap tindakan kerja pelatih ada teoretisnya. Jika teriadi ekses atas pekerjaan itu, oleh pelatih atau sekelompok pelatih
dapat mempertanggungjawabkan secara ilmuwan.
Memang, pelatih tidak harus seorang ilmuwan. Pekerjaan ini dapat juga dilakukan oleh seorang praktisi atau tukang yang rajin. Pelatih bukanlah orang dalam makna statis, melainkan sebagai sosok yang dinamis dengan etos atau semangat kerja tertentu. Etos pelatih yang dikehendaki adalah:
Ø tampil dinamis,
Ø memiliki motivasi kerja yang tinggi,
Ø berdaya tahan tinggi
Ø tidak cepat puas,
Ø tidak mudah menyerah,
Ø tidak putus asa ketika gagal
Ø memiliki energi untuk bekerja secara tepat,
Ø berpikir lateral dengan tidak kehilangan fokus,
Ø mampu mencapai tujuan sesuai dengan perencanaan,
Ø mampu menyelesaikan tugas pada waktu yang tepat,
Ø hasil kerja dimanfaatkan sesuai dengan peruntukan,
Ø mandiri,
Ø bersinergi dan berinterkoneksi dengan sejawat, dan
Ø menggunakan energi secara efisien.
C. Multiketerampilan Pelatih
Seorang pelatih tidak cukup hanya memiliki keterampilan tunggal. Dia dituntut berkemampuan dalam memahami situasi pelatihan, menyusun rencana kerja, mengorganisasikan kegiatan, melakukan evaluasi, mengoreksi kesalahan, dan lain-lain. seorang pelatih harus terampil dalam multimetode, seperti:
Ø ceramah,
Ø tanya jawab
Ø bermain peran,
Ø pemecahan masalah,
Ø simulasi atau demonstrasi
Ø pembelajaran kontekstual,
Ø pembelajaran mandiri,
Ø diskusi,
Ø penugasan, dan lain-lain
Mengapa perlu multiketerampilan? Seorang jurutik akan lebih baik jika memahami mengenai kaidah bahasa yang baik dan benar, kata-kata baku, penulisan kata, dan penggunaan tanda baca. Selain aneka pemahaman kebahasaan ini, dia pun harus memiliki keberanian untuk "tampil berbeda", meskipun dengan atasan atau koleganya tidak mungkin, sebuah surat yang dibuat oleh atasannya mengalami konsep banyak kesalahan tata tulis, seperti:
Ø efektif tertulis efektip,
Ø produktivitas tertulis produktifitas,
Ø pertanggungjawaban tertulis pertanggung jawaban
Ø tanggung jawab tertulis tanggungjawab
Ø kondusif tertulis kondusip,
Ø pengoindonesiaan tertulis peng-lindonesiaan.
Terhadap kesalahan-kesalahan seperti ini, seorang juru tik harus berani melakukan perubahan dengan atau tanpa memberi tahu konseptor atau atasannya. Seorang juru tik harus memiliki keterampilan tingkat tinggi, agar pekeriaan dapat dilakukan secara cepat dengan tingkat kesalahan yang sangat kecil atau nol. Dia harus bekerja dengan kriteria berdasarkan standar maksimum kesalahan (maximum error). Misalnya. satu kesalahan untuk seribu ketukan (one error for one thousand actions), dua kesalahan untuk lima ribu ketukan (one error for five thousand actions), dan sebagainya.
BAB VIII
KOMPETENSI PELATIH
A. Kejutan Budaya
Nyaris tidak ada ruang kosong bagi manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan. Ketika pada belahan dunia tertentu kebanyakan orang sedang tidur nyenyak, melamun, makan, atau istirahat, di belahan dunia lain, riset dan pengembangan serta simulasi keterampilan sedang berlangsung. Makin lama kita tertidur, melamun atau tidak membaca, makin banyak kita tertinggal. Makin lama fisik kita tidak bergerak dengan intensitas tinggi, makin rendah kemampuan kita secara fisikal dalam menahan beban.
Ilmu pengetahuan selalu berkembang, demikian juga tuntutan akan keterampilan Teknologi yang digunakan pun mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang ekstra cepat, tidak sama dengan mesin tik portabel. Seorang guru yang mengajar dengan "pendekatan konvensional" akan mengalami "kejutan budaya mengajar" ketika ia dituntut untuk melakukan pendekatan pembelajaran berbasis kompetensi, apalagi berbasis teknologi. Seorang widyaiswara yang selama ini melakukan pelatihan dengan pendekatan "ceramah satu arah" akan mengalami kejutan yang sama atau hampir sama, ketika dia harus menekankan pada pendekatan proses.
Ada beberapa sebab, mengapa pelatih mengalami kejutan budaya dalam bekerja, antara lain:
1. rendah rasa ingin tahu,
2. gagap teknologi
3. basis keilmuan yang rendah,
4. kurang pengalaman,
5. basis kecerdasan intelektual yang rendah,
6. kecerdasan emosional yang tidak terbentuk,
7. kecerdasan sosial tidak terasah,
8. tidak mampu bersaing dengan sejawat,
9. kurang atau tidak percaya diri,
10. lebih mengutamakan imbalan daripada prestasi, dan lain-lain.
Dengan demikian, satu kunci yang tidak dapat ditawar oleh seorang pelatih adalah keinginan untuk mengikuti perkembangan ilmu dan keterampilan yang dilatihkan. "Mengikuti perkembangan ilmu dan keterampilan atau mati!" Itulah semboyan yang harus ditanamkan kepada pelatih, termasuk pelatih dalam kerangka pelatihan yang berbasis pada kompetensi atau kinerja.
B. Kompetensi Dasar Pelatih
Pelaksanaan program pelatihan untuk tenaga pelatih, instruktur, narasumber, guru, pengawas, calon widyaiswara, dan sejenisnya lebih rumit dibandingkan dengan pelaksanaan program sejenis untuk memberi bekal keterampilan teknis. Peserta pelatihan harus dibekali dengan substansi materi kompetensi akademik atau profesional, kompetensi metodologis sajian, kompetensi pengembangan ilmu, kompetensi pribadi, kompetensi sosial, serta keterampilan "trik" dalam bekerja.
1. Kompetensi akademik atau profesional berkaitan dengan bidang studi (subject matter) atau mata tatar atau mata ajaran pokok.
2. Kompetensi metodologis sajian berkaitan dengan strategi bagaimana mereka menyampaikan materi kepada peserta pelatihan secara efektif dan efisien.
3. Kompetensi pengembangan ilmu berkaitan dengan kemampuan untuk menelusuri, memperdalam, dan mengembangkan ilmu yang dibutuhkan atau keterampilan yang dipersyaratkan dalam kerangka tugas-tugas pelatihan.
4. Kompetensi pribadi berkaitan dengan kepribadian "paripurna" seorang pelatih, yang di dalamnya terkandung motivasi, jati diri, keteladanan, tampilan pribadi, komitmen, kapasitas sugestif, kewibawaan, dan sebagainya.
5. Kompetensi sosial berkaitan dengan interaksi pelatih dengan lingkungan di sekitarnya, khususnya lingkungan manusia, seperti interaksi dengan rekan sekerja, peserta pelatihan, staf pendukung, dan atasan.
6. Keterampilan trik berkaitan dengan kiat-kiat khusus dalam bekerja, yang banyak diperoleh atas dasar pengalaman pribadi di luar mekanisme yang distandardisasikan.
C. Subkompetensi Dasar
Ranah dan subranah kompetensi dasar pelatih, termasuk pelatih untuk pelatihan secara berbasis kinerja atau PBK. Sesekali PBK ini dipersepsi sama dengan kompetensi. Beberapa aspek dari subranah kompetensi mencakup berikut ini :
1. Kompetensi akademik atau professional
Ø Penguasaan anatomi atau lingkup bidang keilmuan
Ø Kedalaman penguasaan keilmuan sesuai dengan keahliannya
Ø Penguasaan ilmu-ilmu pelengkap atau penunjang
Ø Penguasaan urutan materi sajian Penguasaan kaidah-kaidah pekerjaan profesional dan etika akademik
2. Kompetensi metodologis sajian
Ø Kemampuan membuat persiapan bahan ajar
Ø Kemampuan melakukan apersepsi, ice-breaking, dan menutup sesi pelajaran
Ø Kemampuan mengatur irama waktu penyampaian
Ø Kemampuan mengelola kelas pelatihan
Ø Kemampuan membangkitkan minat peserta pelatihan
Ø Kemampuan menyusun alat evaluasi proses pelatihan
Ø Kemampuan menyusun alat evaluasi hasil pelatihan
Ø Kemampuan melakukan analisis hasil evaluasi
Ø Kemampuan menindaklanjuti hasil evaluasi
3. Kompetensi pengembangan ilmu
Ø Kemampuan membaca hasil penelitian
Ø Kemampuan penelusuran pustaka
Ø Kemampuan transfer pengalaman dan mengaplikasikan hasil penelitian para ahli
Ø Kemampuan melakukan penelitian, mulai penelitian sederhana sampai yang kompleks
Ø Kemampuan mentransmisikan pengetahuan dan hasil penelitian
4. Kompetensi pribadi
Ø Emosi diri
Ø Motivasi
Ø Jati diri
Ø Keteladanan
Ø Tampilan pribadi
Ø Komitmen
Ø Pencerahan diri
Ø Kapasitas sugestif
Ø Kewibawaan, dan sebagainya
5. Kompetensi sosial
Ø Interaksi dengan lingkungan di sekitar
Ø Emosi sosial
Ø Interaksi dengan atasan
Ø Interaksi dengan sejawat
Ø Interaksi dengan staf pendukung
Ø Interaksi dengan peserta pelatihan
6. Trik atau kiat kerja
Ø Trik atau kiat berbicara
Ø Trik atau kiat mengelola perbedaan pendapat
Ø Trik atau kiat menunda jawaban
Ø Trik atau kiat penugasan
Ø Trik atau kiat menggunakan instrumen pembelajaran
Ø Trik atau kiat berhumor
Ø Trik atau kiat "menjinakkan' keributan
Pada sisi lain, pekerjaan pelatihan yang dikemas oleh pelatih untuk peserta bukanlah urusan perbaikan kinerja semata, melainkan juga menyangkut aneka pembekalan lain sebagai pendukungnya. Bagi pelatih, di luar pekerjaan melatih, disadari atau tidak, mereka juga harus melakukan perbuatan tertentu, seperti:
Ø Mengajar
Ø Mendidik,
Ø Memberikan contoh
Ø Mengarahkan
Ø Membangun keteladanan, dan
Ø Sesekali memandu atau menggurui.
D. Multistandar pelatihan
Kelemahan mendasar banyak program pelatihan yang dilaksanakan selama ini adalah ketiadaan tindak lanjut pengimbasan hasil pelatihan di dunia kerja. Seakan-akan setelah kegiatan pelatihan, habis perkara. Di mana-mana kita mendengar keluhan, banyaknya program penataran atau pelatihan tidak cukup untuk mendongkrak kinerja lembaga. Pelatihan memang bukan untuk pelatihan, melainkan untuk mengubah perilaku Sebanyak apa pun pelatihan diprogram jika tidak ada komitmen peserta pelatihan untuk mengimplementasikan hasil-hasil pelatihan, perabahan tidak bakal muncul.
Di Indonesia, telah disusun Standar Nasional Pendidikan (SNP) seperti tertuang Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005. Institusi atau organisasi dapat menjadi standar standar dalam kerangka SNP sebagai bagian dari acuan untuk menata institusinya. Mengapa demikian? Dalam banyak hal, lembaga pendidikan formal memiliki kesamaan dengan organisasi. Dalam kerangka SNP dikenal delapan jenis standar, yaitu standar pendidik, standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar prasarana dan sarana standar pengelolaan, dan standar penilaian. Merujuk pada SNP jika ditransfer ke dalam institusi pelatihan, standar-standar tersebut bermakna seperti berikut ini :
1. Standar nasional pelatihan adalah kriteria minimal tentang berbagai aspek yang relevan dalam pelaksanaan sistem pelatihan nasional.
2. Standar kompetensi lulusan adalah standar nasional pelatihan yang dengan kemampuan minimal yang sikap dan keterampilan yang harus dimiliki peserta pelatihan untuk dapat dinyatakan lulus dari satu program pelatihan tertentu, misalnya, tingkat dasar, tingkat menengah, atau tingkat lanjut.
3. Standar isi adalah standar nasional pelatihan yang berkaitan dengan keluasan dan kedalaman materi pelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.
4. Standar proses adalah standar nasional pelatihan yang berkaitan dengan pengorganisasian, prosedur dan metode pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.
5. Standar pelatih adalah standar nasional pelatihan yang berkaitan dengan persyaratan minimal yang harus dipenuhi oleh setiap pelatih pada kelembagaan pelatihan.
6. Standar prasarana dan sarana adalah standar nasional pelatihan yang berkaitan dengan persyaratan minimal tentang lahan, ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi, ruang kegiatan pelatihan, perabot, alat media pelatihan, buku, sumber belajar lain pada setiap organisasi yang diperlukan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.
7. Standar pengelolaan adalah standar nasional pelatihan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pelatihan pada organisasi tertentu agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pelatihan.
8. Standar penilaian adalah standar nasional pelatihan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan alat penilaian pelatihan, baik yang menyangkut masukan, proses maupun keluarannya.
BAB IX
MANAJEMEN KELAS PELATIHAN
A. Beberapa Pertanyaan Esensial
Gaya kepemimpinan atau gaya manajerial pelatih dalam melalukan motivasi kepelatihan diduga mempunyai hubungan positif dengan peserta pelatihan untuk mencapai prestasi seoptimal mungkin sesuai dengan potensi dasarnya. Motivasi peserta akan menjadi modal dasar mereka pada pelatihan karena motivasi kerja yang tinggi memberi sumbangan besar terhadap efektivitas implementasi perolehan pelatihan. Kalaupun produktivitas itu tidak dapat dilihat dalam perspektif jangka pendek, pada perspektif jangka panjang dirasakan akan sangat menguntungkan pribadi dan organisasi. Menumpukkan kekuatan organisasi untuk mencapai produktivitas tinggi hanya atas dasar perolehan pelatihan semata, tentu tidak pada tempatnya.
Di lembaga-lembaga yang para pekerjanya banyak mengandalkan kekuatan otak atau berdasarkan pijakan teori tertentu, manajer harus dapat membedakan saat apa harus tampil sebagai birokrat, tenaga profesional, atau sebagai teoritisian. Untuk itu, manajer harus siap menjadi manusia yang tumbuh dan berkembang secara terus-menerus, tanpa merasa khawatir yang berlebihan terhadap efek negatif dari praktik modernisasi dalam manajemen yang akan diterapkan.
Dilembaga pelatihan, para pelatih kebanyakan menggunakan energi otak, bukan energi otot. Kalaupun ada unsur motoriknya, tenaga berbasis pada paradigma teoretikal yang jelas. Proses transformasi energi otak dan energi motorik dalam kerangka pelatihan akan efektif jika pelatihan mampu memerankan diri sebagai manajer yang baik. Mereka pun harus mampu menampilkan sifat-sifat kepemimpinan yang khas.
Meskipun tidak dimaksudkan untuk mendeskripsikan secara mendalam tentang fungsi manajerial, uraian di atas setidaknya memberikan sodikit pencerahan mengenai peran pelatih sebagai manajer Tampilan pelatih sebagai manajer dipentingkan, terutama ketika mereka berada di kelas-kelas pelatihan. Pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan seni dan praktis manajemen
kelas pelatihan disajikan berikut ini.
1. Bagaimana membangun disiplin kelas pelatihan?\
2. Bagaimana menciptakan hubungan positifantara pelatih dan peserta pelatihan di dalam kelas?
3. Bagaimana mengkreasi hubungan positif antarsesama peserta pelatihan di kelas?
4. Bagaimana membangun dinamika kelompok di dalam kelas?
5. Bagaimana bekerja sama dengan teknisi pelatihan?
6. Bagaimana mengelola pertanyaan peserta pelatihan yang tidak bisa dijawab ketika pertemuan kelas tengah berlangsung?
7. Bagaimana memotivasi peserta pelatihan untuk belajar atau berlatih?
8. Bagaimana mengoptimalkan perilaku tugas peserta pelatihan?
9. Apa yang harus diperbuat oleh pelatih dalam menangani peserta berisiko agar tidak gagal dalam pelatihan?
10. Bagaimana menciptakan aturan atau titian emas (golden rule) untuk membangun perilaku produktif pada kalangan peserta pelatihan?
11. Pemecahan masalah macam apa yang harus dikemas untuk meredusir kecenderungan perilaku tidak tepat yang ditampilkan oleh peserta pelatihan?
12. Bagaimana mengoptimalkan sumber daya kelas pelatihan untuk meningkatkan produktivitas proses pembelajaran?
B. Dari Otoriter Ke Demokrasi
Manajer memiliki multifungsi. Namun demikian, adalah sebuah paradoks jika dikatakan bahwa secara tradisional, manajer adalah pemegang otoritas pembayaran, kunci menuju promosi, dan penentu keputusan. Pernyataan ini sah-sah saja sejauh kita percaya bahwa satu-satunya jalan untuk memotivasi adalah melalui penerapan secara bijaksana 'ganjaran' dan hukuman'. Akan tetapi, agar PBK berfungsi secara maksimal, relasi antara pelatih dan peserta PBK haruslah berupa relasi kemitraan dalam usaha, kepercayaan, keamanan, dan tekanan yang minimal. Konsepsi bahwa manajer sebagai pemegang otoritas pembayaran, kunci menuju promosi, dan penentu keputusan tidak ada tempat di sini karena hal itu hanya menghambat relasi dalam konteks pelatihan.
Pertanyaannya adalah dapatkah seorang manajer juga menjadi seorang pelatih? Bukan tidak mungkin, bahkan pasti bisa. Tentu saja, dari dirinya dituntut kualitas-kualitas pribadi seorang manajer yang paling tinggi, seperti:
· empati,
· integratis,
· motivasi
· percaya diri
· sikap tidak mudah terpengaruh, dan
· kesediaan untuk mengambil pendekatanyangsungguh berbeda kepada stafnya.
C. Manajemen Kelas Pelatihan
Di lembaga pelatihan, kelas merupakan wahana paling dominan bagi terselenggaranya proses pembelajaran bagi peserta pelatihan. Kedudukan "kelas" yang begitu penting mengisyaratkan bahwa tenaga pelatih profesional yang dikehendaki harus profesional pula di dalam mengelola kelas bagi terselenggaranya pelatihan yang efektif dan efisien.
Pada tingkat deskripsi, terminologi, konsep, dan teori manajemen itu bersifat netral dan universal. Karakteristik tugas pokok dan fungsi institusi lembagalah yang membuat replika manajemen itu berbeda sehingga manajemen itu berbeda pada tingkat kreatif. Ini berarti bahwa konsep dan teori manajemen itu dapat ditransfer (transferable) ke dalam institusi yang bervariasi atau berbeda tugas pokok dan fungsinya.
Istilah manajemen sudah begitu dikenal pada masyarakat yang berperadaban modem, demikian juga kata kelas pelatihan. Terminologi manajemen kelas pelatihan (classroom management of trainning) dibangun oleh tiga kata, yaitu manajemen (management), kelas dalam makna ruang kelas (classroom), dan pelatihan training) Apa itu manajemen? Koor dan Weihrich (990) mengemukakan definisi manajemen sebagai "the process ofdesigning and maintaining an environment in which individuals, working to in groups efficiently accomplish selected aims. Manajemen merupakan proses mendesain dan memelihara merupakan lingkungan tempat individu bekerja bersama di dalam untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu secara efisien. Scanlan dan Key (1979) mendefinisikan manajemen sebagai proses pengoordinasian dan pengintegrasian semua sumber, baik manusia, fasilitas maupun sumber daya teknikal lain, untuk mencapai aneka tujuan khusus yang ditetapkan. Terry mendefinisikan manajemen dari sudut pandang fungsi organiknya. Dia menulis, bahwa manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, aktuasi, pengawasan, baik sebagai ilmu maupun seni, untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Berkaitan dengan definisi dan makna istilah manajemen, yang telah didefinisikan dan diberi makna dengan mengedepankan beberapa pendapat ahli, berikut ini disajikan beberapa makna dari manajemen kelas pelatihan.
Apa yang dimaksud dengan kelas. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBl, 1995) kelas didefinisikan sebagai ruang tempat belajar di sekolah. Hornby dalam Onford Advanced Learner's Dietionary (1986) mendefinisikan kelas (elass) sebagai group of students taught together atau oecation when this group meets to be taught. Dengan demikian, kelas merupakan sekelompok siswa yang diajar bersama atau suatu okasi ketika kelompok itu menjalani proses pembelajaran pada tempat dan waktu yang diformat secara formal. Classroom, oleh Hornby (1986) didefinisikan sebagai room where a class of pupils or students is taught atau ruang tempat sekelompok peserta didik diajar atau menjalani proses pembelajaran. Pada tataran paling awam, kelas bermakan "tingkatan" untuk menunjukkan status atau posisi anak di sekolah tertentu, misalnya, kelas I, kelas ll, dan sebagainya. Merujuk pada definisi manajemen, kelas, dan pelatihan; dalam kerangka buku ini, manajemen kelas pelatihan didefinisikan berikut ini.
1. Manajemen kelas pelatihan adalah seni atau praktis (praktik dan strategi) kerja di mana pelatih bekerja secara individu, dengan atau melalui orang lain (seperti bekerja dengan sejawat atau peserta pelatihan) untuk mengoptimalkan sumber daya kelas bagi penciptaanproses pembelajaran yang efektif dan efisien. Sumber daya kelas pelatihan merupakan instrumen, proses pelatihan sebagai inti, dan hasil pelatihan sebagai muaranya.
2. Manajemen kelas pelatihan adalah proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang dilakukan oleh pelatih, baik individual maupun dengan atau melalui orang lain (seperti dengan sejawat atau pihak lain) untuk mengoptimalkan proses pelatihan. Kata perencanan di sini merujuk pada perencanaan pelatihan dan unsur-unsur penunjangnya. Pelaksanaan bermakna proses pelatihan, dan evaluasi bermakna upaya mengukur hasil pelatihan. Evaluasi di sini terdiri dari dua jenis, yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil pelatihan.
3. Manajemen kelas pelatihan adalah proses perencanaan, pengorganisasian, aktuasi, dan pengawasan yang dilakukan oleh pelatih, baik individual maupun dengan atau melalui orang lain (seperti sejawat atau peserta pelatihan sendiri) untuk mencapai tujuan pelatihan yang efektif dan efisien, dengan cara memanfaatkan segala sumber daya yang ada.
Definisi kelas pelatihan yang dikemukakan di atas tidak sepenuhnya relevan dijadikan acuan untuk menjelaskan tempat terjadinya proses pelatihan, kecuali kalau proses pelatihan diidentikkan dengan pertemuan kelas belaka. Dalam konteks interaksi pelatih dengan peserta pelatihan, proses pelatihan dapat terjadi di luar kelas, laboratorium, bengkel kerja, objek - objek bernilai sejarah, dan lain-lain. Kesemuanya ini menuntut pula kemampuan manajemen (management capability) bagi penciptaan proses pelatihan.
D. Pergeseran Paradigma Manajemen Kelas Pelatihan
Konsep modern memandang manajemen kelas pelatihan sebagai proses mengorganisasikan segala sumber daya kelas bagi terciptanya proses pelatihan yang efektif dan efisien. Sumber daya itu diorganisasikan untuk memecahkan aneka masalah yang menjadi kendala proses pelatihan, sekaligus membangun situasi kelas yang kondusif secara terus-menerus.
Tugas pelatih di sini adalah menciptakan, memperbaiki, dan memelihara situasi kelas pelatihan secara cerdas.
Situasi yang cerdas itulah yang mendukung peserta pelatihan dapat mengukur, mengembangkan, dan memelihara stabilitas kemampuan, bakat, minat, dan energi yang dimilikinya untuk menjalankan tugas-tugas pendidikan dan pelatihan. Merujuk pada pemikiran J.M. Cooper (1977), berikut ini dirumuskan definisi mengenai manajemen kelas pelatihan.
Manajemen kelas pelatihan dipandang sebagai suatu proses untuk mengendalikan atau mengontrol perilaku peserta pelatihan di dalam kelas atau di tempat praktik. Definisi ini diwarnai oleh ancangan manajemen yang bersifat mana pelatih melakukan tugas utama sebagai pencipta dan pemeliharaan suasana kelas pelatihan agar tetap tertib.
Mengikuti alur sejarah manajemen kelas di sekolah, konsep manajemen kelas pelatihan yang digagas di sini, hingga menemukan bentuknya sekarang, telah menempuh perjalanan sejarah cukup panjang atau mengalami evolusi. Hal ini antara lain ditentukan oleh pemikiran filosofis kependidikan, kemajuan budaya masyarakat, dan skema pemikiran mengenai makna kelas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan pengalaman pengalaman di bidang pendidikan pun ikut berpengaruh. Lebih dari empat dekade terakhir ini, terutama sejak tahun 1960-an hingga sekarang, atau metode-metode yang dipakai dalam proses manajemen kelas mengalami perubahan cukup drastis, dengan tetap memosisikannya memiliki temali satu sama lain.
1. Penetapan kriteria keberhasilan
2. Metode behavioristik
3. Penelitian keefektifan guru
4. Keterampilan guru dalam pengorganisasian dan pengelolaan
F. Sumberdaya Kelas
Dari hasil-hasil riset yang digelar sekitar tahun 1980-an hingga tahun 1990-an, secara ringkas dapat dijelaskan mengenai faktor-faktor mayor (major faktors) atau area keterampilan yang terpaut dengan manajemen kelas pelatihan yang efektif. Kelima faktor dimaksud meliputi:
1. Pengembangan kesolidan atau soliditas pemahaman personal atau psikologis peserta pelatihan dan kebutuhan-kebutuhan belajar.
2. Pemapanan hubungan positifantara pelatih dengan peserta pelatihan dan antarpeserta pelatihan yang dapat membantu menemukan kebutuhan dasar psikologis mereka.
3. Pengimplementasian metodologi pengajaran atau pelatihan yang memfasilitasi belajar optimal dengan jalan memberi respons terhadap kebutuhan-kebutuhan akademik dan keterampilan (academic amd skill needs) peserta pelatihan dan kelompok kelas.
4. Penggunaan metode organisasi dan pengelolaan kelompok yang dapat memaksimalkan perilaku tugas (on-task behavior) peserta pelatihan.
5. Penggunaan metode-metode konseling dan penataan perilaku yang diperluas untuk membantu peserta pelatihan yang tidak tepat dalam menjawab soal-soal ujian atau mengalami perilaku menyimpang.
G. Manajemen Kelas Dan Prilaku Peserta
Dalam keseharian tugasnya di kelas, peserta pelatihan paling banyak berhubungan dengan pelatih Bersamaan dengan itu, perwajahan institusi pelatihan dapat dilihat oleh peserta dengan mata telanjang. Dalam tugas kesehariannya pula, pelatih berhadapan dengan peserta pelatihan dengan intensitas tinggi, sedang, atau rendah. Dia pun berhadapan dengan peserta pelatihan yang baik-baik atau santun, arogan, cuek, pengganggu, bahkan mungkin pernah melakukan tindakan kriminal. Juga peserta pelatihan yang kuat, sedang, atau lemah fisiknya. Belum lagi manakala keragaman itu dilihat dari perspektif sosial, ekonomi, kultur, kebiasaan, agama, kepedulian, dan derajat kohesivitasnya, dan sebagainya.
Peserta pelatihan yang bermasalah biasanya menjadi beban tambahan sekaligus sumber kepedulian utama para pelatih. Bahkan, peserta pelatihan yang bermasalah ini makin menjadi pusat kepedulian utama (major concern) para pelatih, Pelatih sendiri sering merasa jengkel melihat peserta pelatihan tampil kurang mencerminkan norma-norma keterpelajaran. Memang, betapa pun kuat kemauan pelatih untuk "memintarkan" dan "memanusiakan" peserta pelatihan ketika ia berada di lembaga pelatihan, hal itu akan menghasilkan produk yang sia-sia, manakala di masyarakat, mereka justru terkondisi dengan perilaku destruktif atau menyimpang.
Akan tetapi, kondisi peserta pelatihan seperti itu menjadi peluang bagi pelatih untuk mengelola kelas pelatihannya secara efektif bagi penciptaan faktor-faktor yang memengaruhi motivasi, prestasi, dan perilaku peserta pelatihan. Di sini pula letaknya, manajemen kelas pelatihan menduduki posisi mayor dalam keseluruhan spektrum kegiatan pelatihan.
BAB X
ORGANISASI PEMBELAJARAN DAN PARADIGMA MANAJEMEN PELATIHAN
A. Organisasi Pembelajaran
Pada banyak anggota masyarakat, setiap interaksi langsung ataupun tidak langsung dimaknai sebagai wahana pembelajaran dan jaringan belajar sepanjang hayat, Interaksi antarorang atau antarkelompok orang, langsung atau tidak langsung, formal atau tidak formal, disengaja atau kebetulan, dengan menggunakan instrumen pendukung atau tidak, merupakan wahana proses pemanusiaan dan kemanusiaan sejati. Dari sekian banyak bentuk interaksi, intensitas interaksi antara siswa dan guru atau peserta pelatihan dan pelatih merupakan faktor dominan bagi proses kemanusiaan dan pemanusiaan sejati itu.
Keterbelakangan beberapa suku terasing, ketidakterampilan staf, perilaku gagap teknologi (gatek), bisu teknologi (bitek), atau buta teknologi (butek), ketiadaan menjadi masyarakat yang melek informasi, ketertutupan secara kultural, dan sebagainya untuk sebagian besar disebabkan ketiadaan sentuhan edukasional yang benar dari guru atau pelatih. Komunitas yang tidak bersentuhan secara benar, intensif, lama, dan berjenjang kepada guru atau pelatih adalah mereka yang terbelakang peradaban dan keberadabannya.
Masyarakat pun harus ikut andil dalam pengendalian mutu lembaga pelatihan, khususnya pengguna lembaga itu, termasuk masyarakat peserta pelatihan itu sendiri. Peran serta masyarakat dalam pengendalian mutu pelatihan mencakup partisipasi mereka dalam perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pelatihan. Peran serta masyarakat dapat berupa sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pelatihan. Peran serta masyarakat sebagai sumber pelatihan dapat berupa:
1. Penyandang dana/beasiswa
2. Bantuan sarana dan prasarana
3. Penyedia tenaga pelatih,
4. Bantuan tenaga ahli
5. Narasumber dan
6. Bentuk lain yang sejenis
B. Pergeseran Paradigma
Organisasi pelatihan belajar hanya melalui individu-individu yang belajar atau individu organisasional yang menjadi pembelajar, bukan organisasi pelatihan dalam makna statis itu sendiri yang belajar. Manusia-manusia organisasional, termasuk mereka yang melakukan tugas-tugas kepelatihan atau komunitas organisasi pelatihan itu sendiri harus diberdayakan dan memberdayakan diri untuk menjadi masteri, memiliki penugasan secara tuntas atas kompetensi yang dibutuhkannya.
Perwujudan lembaga pelatihan sebagai organisasi pembelajaran menjadi makin esensial ketika globalisasi telah memberikan tekanan kuat pada inisiatif membangun tatanan masyarakat yang demokratis, tidak hanya pada tataran negara, melainkan pada tataran organisasi, termasuk organisasi-organisasi pelatihan dan sekolah. Catatan sejarah mematrikan bahwa negara dan organisasi yang dikelola secara sentralistik yang berciri utama otoritarianisme atau tidak dapat membedakan kepemimpinan dengan kediktatoran, cepat atau lambat akan mengalami kebangkrutan.
Ketika arus komunikasi dan informasi mengalami kecepatan dan percepatan yang luar biasa, tidak ada satu pun organisasi formal, termasuk organisasi sekolah yang terbebas dari imbasnya. Di sinilah, esensi dan eksistensi negara dan organisasi harus membangun tatanan yang demokratis, akuntabel, transparan, disertai dengan pemberdayaan seluruh manusia organisasionalnya
C. Reformasi kelembagaan
Jika ditransfer pada situasi kelembagaan pelatihan, pemikiran yang digagas di atas mengeksplisitkan bahwa inisiatif pengembangan organisasi secara tim, hubungan kooperatifantara lembaga dan instansi eksternal, pematangan otonomi dengan akuntabilitas, pembentukan jaringan kerja, dan pengintegrasian tugas-tugas menjadi keniscayaan bagi penciptaan kinerja lembaga pelatihan sebagai organisasi pembelajaran yang efektif dan efisien. Untuk itu, khususnya institusi pelatihan harus melakukan beberapa reorientasi kerja.
1. Menciptakan interaksi dengan lingkungannya untuk mengakses dan merespons aneka perubahan lingkungan sesuai dengan kebutuhan organisasi dan penggunanya.
2. Mendefinisikan, bahkan melakukan redefinisi mengenai tujuan, sasaran, dan fungsi lembaga.
3. Menata ulang dan meningkatkan mutu kinerja organisasi melalui pengoptimalan sumber daya yang ada dan yang dapat diakses.
4. Melakukan diversifikasi usaha, sehingga institusi kepelatihan tidak hanya sebatas sebagai cost center atau hanya mampu membelanjakan uang, melainkan juga sebagai revenue center atau menghasilkan uang untuk menandai operasi institusi pelatihan secara optimal dan menyejahterakan staf yang ada.
5. Mengembangkan aneka keunggulan, baik keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif.
6. Melakukan pemutakhiran sumber-sumber pelatihan, khususnya yang bersifat teknologis.
Merujuk pada perubahan arah organisasi seperti disebutkan di atas, berikut faktor-faktor internal dan eksternal yang menyertainya, seperti krisis ekonomi, kondisi sosial dan politik yang belum begitu stabil, dan sebagainya, kehadiran lembaga-lembaga pelatihan yang kapabel sebagai organisasi pembelajaran makin diperlukan. Kapabilitas ini menyangkut seluruh spektrum yang terkait dengan manajemen kelembagaan pelatihan, baik dilihat dari perspektif internal maupun eksternal.
Pemberdayaan pelatih (empowerment of trainers) juga diidentifikasi sebagai faktor penting di dalam rekulturisasi dan restrukturisasi lembaga pelatihan. Melalui prakarsa pemberdayaan, pelatih akan mempunyai rasa memiliki atas usaha-usaha reformasi lembaga pelatihan, kemudian melahirkan komitmen tinggi dalam melakukan perubahan-perubahan dengan pelatih sebagai ujung tombaknya. Pemosisian pelatih sebagai subjek utama reformasi lembaga pelatihan menuntut inisiatif lain, seperti dukungan dan asistensi, terutama dalam hal peluang-peluang mendapatkan pengalaman baru melalui program pengembangan profesional yang relevan.
BAB XI
REORIENTASI MUTU PELATIHAN
A. Rekulturasi Organisasi
Proses dan luaran pelatihan ingin bermutu, bukan program pelatihan-nya yang di utama- kan harus dibuat bermutu, melainkan pelakunya. Mulu pelatihan merupakan sebuah kondisi yang hanya akan dapat diubah jika terjadi perubahan perilaku untuk tidak berkompromi pada di kalangan aktomya, yaitu pelatih dan peserta pelatihan. Perilaku aktor dari asal jadi ke bermutu hanya akan berubah jika dalam pikiran mereka berubah.
Perubahan itu juga harus terjadi pada organisasi pelatihan dan sistem kerjanya organisasi merupakan uait sosial yang dinamis organisasi yang baik akan selalu mengalami proses perubahan menuju kondisi yang lebih baik sesuai dengan tuntutan intermal dan ekstemalaya salah satu bentuk dari usaha itu adalah melakukan penataan ulang restrukturisasi) dan menyuntikkan budaya yang lebih kondusif (rekulturisas) dalam organisasi Restrukturisasi dan rekulturisasi organisasi pelatihan menjadi sebuah keniscayaan ketika kita telah memasuki milenium ketiga ini.
Dengan restrukturisasi, struktur organisasi pelatihan akan tertata menurut kepentingannya, dalam makna, tidak ada unit struktur yang diada-adakan" hanya dengan tujuan menampung orang, bukan untuk mengakomodasikan tugas pokok dan fungsi lembaga secara signifikan. Tidak pula ada unit strukturyang bebantugasnya terlalu “gemuk” sehingga sulit dijalankan. Juga, tidak terjadi tumpang tindih pekerjaan. Struktur organisasi baru produk restrukturisasi mestinya ramping, tidak hierarkis. dan memiliki kekuatan fungsional dan administratif yang khas.
Kita masih sering menemukan beberapa lembaga sejenis yang menjalankan fungsi sejenis, namun berada pada instansi yang berbeda Idealnya, beberapa tugas sejenis sangat mungkin digabungkan atau dijadikan satu atap atau satu unit kerja. Di sinilah, esensi restrukturisasi dan rekultuurasi Restrukturisasi organisasi pelatihan mestinya berdampak pada rekulturisasi atau terbentuknya budaya baru dalam organisasi pelatihan itu.
1. Organisasi pelatihan itu bersifat hierarkis, birokratis, dan otoriter ke cenderung "datar" (at) dan akomodatif, serta bekerja atas spirit debirokratisasi.
2. Dari sumber daya insani (pelatih, tenaga teknisi, dan staf yang bekerja semata-mata berdasarkan komando atau perintah ke bekerja berdasarkan pada inisiatif, fungsi, dan kapasitas profesional.
3. Dari sumber daya insani yang bekerja secara boros atau hanya bernafsu berbelanja ke perilaku efisien, bahkan menghasilkan uang untuk menghidupi lembaga.
4. Dari sumber daya insani yang memiliki fokus kerja kebanyakan untuk melayani sistem ke banyak melayani subjek pelatihan.
Tujuan tertinggi atau paling sejati rekulturisasi lembaga pelatihan adalah peningkatan kinerja pelatihan, dalam makna peningkatan mutu proses dan luaran lembaga pelatihan itu. Tujuan sejati ini harus disadari oleh seluruh sumber daya insani di lingkungan lembaga pelatihan, seperti pimpinan, widyaiswara, tutor, pelatih, tenaga tata usaha, dan lain-lain.
Pengembangan tenaga pelatih dalam kerangka pelatihan harus didasari atas perencanaan dan implementasi yang jelas dan terkait langsung dengan peningkatan kinerjanya. Dengan demikian, baik rekulturisasi kelembagaan maupun pengembangan tenaga pelatih harus dilakukan
dengan pendekatan berbasis hasil (results-oriented approach), dan harus siap dievaluasi keefektifan dan hubungan-hubungannya. Artinya, harus ada standar yang ditetapkan berkaitan dengan materi pengembangan profesional, khususnya pada area pengetahuan kritis dan keterampilan yang dibutuhkan (areas of critical knowledge and skills needed) dengan adanya upaya mereformasi partisipan.
Demikian juga, capaian rekulturisasi lembaga pelatihan menuntut dukungan secara kontinu dari semua sumber daya insani yang ada, sehingga terjadi keunggulan diferensiatifatas hasil pelatihan. Kontinuitas perbaikan kualitas program-program pelatihan dan tindak lanjut yang
intensif mutlak diperlukan. Proses pertumbuhan dan promosi lain pun perlu dirangsang, seperti kelompok studi, penelitian aksi, jaringan keria pelatih, dan pelatihan sesama sejawat.
Kegiatan pengembangan profesional tenaga pelatih pada organisasi pelatihan secara terjadwal perlu didiskusikan secara saksama oleh komunitas organisasi. Di sekolah, misalnya, diskusi dapat dilakukan bersama-sama oleh pelatih, kepala sekolah, pengawas, staf tata usaha, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Diyakini bahwa pengembangan profesional dan rekulturisasi organisasi pelatihan memiliki hubungan yang saling memperkuat secara mutualis, dan keduanya senantiasa harus terus dipupuk untuk tumbuh dan berkembang.
B. Orientasi Perubahan
Restrukturisasi kelembagaan pelatihan merupakan sebuah jika tuntutan, diyakini bahwa dengan cara itu akan muncul perubahan yang produktif. Respons pelatih terhadap restrukturisasi merupakan roda gigi untuk apa mereka mengetahui dan bagaimana mereka mengetahuinya secara baik dalam rangka mengubah praktik-praktik kerja mereka. Ada atau tidaknya perubahan pada diri pelatih sangat ditentukan oleh kemampuan mereka memersepsi kebutuhan, mendiagnosis permasalahan, dan menyusun sebuah respons atas masalah yang dihadapi ke dalam kapasitas intelektual dan emosionalnya, kesesuaian kepribadian, perspektif edukatif, dan idiologikal, serta isi.
Faktor-faktor di atas perlu dipahami secara benar oleh pelatih dan komunitas lembaga pelatihan, agar mereka tidak bekerja dalam suasana terisolasi. Satu faktor merujuk pada pengaruh positif atau negatif yang kuat, dan satu faktor lagi berkaitan dengan relasinya. Hal ini akan membantu manajemen dan pelatih untuk mengapresiasikan bagaimana restrukturisasi kelembagaan pelatihan mampu menghasilkan perubahan-perubahan dalam bidang-bidang, seperti:
1. Paedagogis;
2. Cara kerja pelatih
3. Kultur kerja pelatih
4. Kegiatan pelatihan
5. Kultur peserta pelatihan, dan
6. Kultur organisasi pelatihan.
Perubahan-perubahan itu tidak sebatas bersifat nominal atau pengakuan formal, melainkan harus bermakna pada tataran perilaku praktik. Di samping itu, perubahan-perubahan itu harus memiliki keseimbangan dengan faktor-faktor lain yang terkait. Faktor-faktor tersebut meliputi:
1. Perubahan gaya kepemimpinan
2. Anteseden personal dan organisasi untuk perubahan;
3. Kolaborasi positif
4. Kolegialitas,
5. Pengembangan profesional,
6. Pemberdayaan pelatih, dan
7. Pemberdayaan peserta pelatihan.
Dengan difasilitasi manajemen lembaga pelatihan yang baik, pada kesehariannya, pelatih harus secara kontinu melakukan upaya profesional, sehingga profesi pelatih dan komitmen akan pelatihan menjadi sebuah paham. Di sinilah, esensi profesionalisme pelatih itu, dimana profesi kepelatihan merupakan wahana mengabdi secara total dan mengintegralkan di dalam dirinya.
C. Prinsip Kaizen
Rekulturisasi lembaga pelatihan pada intinya adalah upaya terus-menerus untuk memperbaiki kultur kinerja institusi pengguna jasa. Sejalan dengan pemikiran sebelumnya, perbaikan kinerja lembaga pelatihan secara terus- menerus ini relevan dengan filosofi Kaizen, bahwa selalu tersedia ruang gerak, waktu, dan tenaga untuk melakukan perbaikan.
Memang, tidak ada kepastian bentuk muara setiap usaha perubahan, kecuali perubahan itu sendiri dan harapan-harapan yang menyertainya. Harapan yang diimpikan dari usaha perubahan adalah sebuah metamorfosis menuju kesempurnaan atau perbaikan secara terus-menerus (continous improvemenn. Di Jepang, istilah perbaikan yang terus-menerus ini sarat dengan muatan kultural, yang disebut dengan Kaizen. Kai berarti perubahan dan Zen berarti baik.
Istilah Kaizem sering kita dengar dan baca akhir-akhir ini, itu pun masih terbatas wahananya. Jadi, sangat mungkin masih banyak orang yang belum pernah mendengar tentang Kairen, meskipun dia sudah pernah mendengar atau mungkin secara pribadi sudah memahami cukup mendalam tentang Manajemen Mutu Terpadu (MMT) atau Total Quality Management (TQM). Buku-buku tentang MMT atau TOM telah banyak dipublikasikan, demikian juga artikel tentangnya. Akan tetapi, buku-buku tentang Kaizen apalagi lembaga pelatihan berbasis Kaizen, masih amat langka.
Pemahaman seseorang tentang MMT atau TQM berarti pula dia telah mulai memahami tentang Kaizen. Apa yang kita dengar di dunia Barat dan di banyak belahan dunia sebagai TQM, sebenarnya berasal dari Kaizen. Bagaimana prinsip Kaizen itu? Tony Barnes (1998) mengemukakan sepuluh prinsip Kaizen. Kesepuluh prinsip tersebut ini.
1. Berfokus pada pelanggan
2. Melakukan peningkatan secara terus-menerus
3. Mengakui masalah secara terbuka
4. Mempromosikan keterbukaan
5. Menciptakan tim kerja
6. Memanajemeni proyek melalui tim fungsional-silang
7. Memelihara proses hubungan yang benar
8. Mengembangkan disiplin pribadi
9. Memberikan informasi pada semua karyawan
10 Memberikan wewenang kepada setiap karyawan
BAB XII
STRATEGI OPTIMALISASI PELATIHAN
A. Penyakit Detik Detik Terakhir
Pelatihan bukanlah sebuah seremoni. Bukan pula sebuah aktivitas hanya untuk menghabiskan dana proyek. Juga, bukan sekadar untuk membagikan sertifikat secara formalitas kepada peserta pelatihan. Ini sang sekian juta napiah dan kerjakanlah apa yang diinginkan! Pernyataan seperti itu adalah tradisi buruk sebuah institusi. Bukan uang yang memandu" kegiatan, melainkan kegiatanlah yang memandu kebutuhan akan sejumlah uang, activities-driven money bukan money-driven activities. Karena itu, peserta pelatihan tidak diperkenankan lebih mementingkan sertifikat atau ijazah daripada kompetensi atau keterampilan yang diperoleh. Peserta pelatihan harus memiliki ciri-ciri positif, seperti:
1. Komitmen untuk belajar,
2. Ketekunan berlatih,
3. Berkemampuan mengobservasi lingkungan,
4. Belajar dari pengalaman, dan
5. Optimisme untuk sukses.
B. Pelatihan Sebagai Manusia Terpilih
Pelatih mestinya direkrut dari orang-orang yang terpilih. Mereka harus menguasai materi, memiliki keterampilan yang diperlukan, menguasai metodologi pelatihan, dan berdedikasi tinggi ketika bertugas. Pelatih adalah figur dan simbol. Siapa dia, akan dinilai oleh peserta pelatihan. Sulit menjadi pelatih yang andal jika peserta pelatihan tidak mengenalinya sebagai sosok yang layak memerankan diri untuk itu.
Jika institusi pelatihan tidak mampu menyediakan tenaga pelatih dari dalam institusinya, dapat dilakukan pendekatan outsourcing. Outsourcing adalah penggunaan tenaga dari luar, apakah penuh atau parsial, untuk menyelenggarakan program pelatihan tertentu. Penggunaan tenaga pelatih secara outsourcing ini memiliki makna strategis, asalkan tenaga yang direkrut benar-benar sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang diperlukan menurut program pelatihan.
Konsistensi diri dalam pelatihan merupakan sisi lain yang harus diperhatikan oleh peserta pelatihan. Begitu banyak orang bekerja dalam format "keras kerak, yang tersiram air sedikit saja menjadi lembek" Tergoda dengan hal baru lalu meninggalkan keputusan yang telah dibuat dan tengah dicoba dijalankan bersemangat sebentar, kemudian mengendor", dan sejenisnya.
Didunia kehidupan petani, ada di antara mereka yang ketika banyak orang menanam karet, ia ikut pula menanam karet; ketika banyak orang menanam kelapa sawit, ikut pula menanam kelapa sawit dengan memangkas karet yang baru tumbuh; ketika banyak orang menanam coklat, ia ikut pula menanam coklat dengan memangkas kelapa sawit ang baru berumur beberapa tahun. Keinginannya mengikuti arus orang lain, padahal lahan yang dimiliki terbatas.
Sebagai ilustrasi, baju atau celana tenun yang kita pakai tidak lebih dari selembar benang yang dirajut secara tekun, untuk kemudiain dijahit. Demikian juga, buku yang kita baca tidak lebih dari kumpulan dua puluh enam huruf latin, ditambah tanda baca. Hanya penenun yang tekun yang bisa melahirkan selembar bahan baju atau celana. Hanya orang yang rajin yang akan dapat merajuthuruf menjadi kata, kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, paragraf menjadi bab, dan seterusnya. Logikalah yang menjadi perekatnya, sehingga lahirlah sebuah anatomi berpikir.
Pandangan visioner atau pandangan jauh ke depan, melebihi batas-batas pemikiran orang kebanyakan. Mereka yang termasuk kelompok ini jarang sekali tergoda untuk melakukan apa saja demi hasil yang instan, mengejar target jangka pendek dengan mengorbankan kepentingan jangka panjang.
C. Strategi Optimalisasi
Pelatihan akan berjalan baik jika dilakukan secara optimal, optimalisasi merupakan usaha untuk memberdayakan segala sumber daya pelatihan (manusia, nonmanusia, dan situasi) agar pelatihan itu dapat berjalan secara optimal.
Kembali ke awal tulisan ini, tugas utama pelatih sebagai tenaga pengembang adalah membentuk peserta pelatihan menjadi orang yang berkineria tinggi. Di samping tugas melatih, seorang pelatih harus mampu tampil sebagai pendidik, pengajar, dan pembimbing. Di antara keempatnya terdapat tonjolan titik tekan. Pada saat tertentu, dimensi mengajar dan mendidik lebih dominan Tugas-tugas mendidik atau tugas-tugas pedagogis dimuarakan pada pembentukan peserta pelatihan sebagai manusia sejati, manusia yang memiliki keseimbangan antara kecerdasan emosional, spiritual, dan intelektual. Pada saat lain, dimensi mengajar atau menyampaikan mata pelajaran (subject matter) lebih menonjol.
Tugas-tugas mengajar bermuara pada pembentukan diri peserta pelatihan menjadi orang yang cerdas dan berpengalaman. Masih ada tugas lain yang dilakukan oleh pelatih yaitu melatih.Tujuan utama kegiatan melatih adalah mengembangkan keterampilan tertentu. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh pelatih praktik atau naan tenaga pelatih secara mereka yang mengajarkan materi yang menuntut keterampilan praktis, sebagai bekal hidup yang riel.
Multiperan itu harus dilakukan secara sinergis dan optimum. Di sinilah esensi strategi Optimalisasi dalam kerangka pelatihan. Optimalisasi merupakan akronim dari oportunitas-baru, prestasi prestisius, terukur integratif mumpuni, akseptabilitas, loyalitas, inisiatif sistematik, akuntabilitas, sustainabilitas, dan interdependensi. Jadi:
O = oportunitas-baru
P = Prestasi prestisius
T = Terukur
I = Integratif
M = Mumpuni
A = Akseptabilitas
L = Loyalitas
I = Inisiatif
S = Sistematik
A = Akuntabilitas
S = Sustainabilitas
I = Interdependensi
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
Al – Rasyidin dan Nizar, syamsul. 2005. filsafat pendidikan islam pendekatan Historis, Teoritis, Jakarta : PT Ciputat Press
Fathoni, Abdurahman. 2006. Organisasi dan Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta : PT. Rineka Cipta
Fattah, Nanang. 1996. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Gie, The Liang. 1979. Suatu konsepsi kea rah penerbitan bidang filsafat. Karya Kencana. Yogyakarta.
http;//www.uin-alaudin.ac.id/download
http;//portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg
Ki Hajar Dewantara.1962. Pendidikan. Jogjakarta : Taman Siswa
Ki Hajar Dewantara. 1964. Kebudayaan.Jogjakarta : Taman Siswa
Pdarta, Made. 2002. Landasan Kependidikan. Jakarta : RIneka Cipta
Republik Indonesia. 2006 “ Undang – Undang RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional” dalam Himpunan Peraturan Perundang – undangan, Bnadung : Fokus Media
Republik Indonesia. 2012 “ Undang – Undang RI No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen” dalam Undang – Undang Guru dan Dosen. Bandung : Fokus Mandiri
Sadulloh, Uyoh. 2004. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Insan Mandiri
Tafsir, Ahmad. 2001. Filsafat Umum. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Tafsir, Ahmad. 2004. Metodelogi Pengajaran Agama Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Tafsir, Ahmad. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Tafsir, Ahmad. 2007. Filsafat Ilmu. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar